Book 7

1.3K 155 27
                                    

Harap meninggalkan jejak berupa vote dan komen. Terimakasih!

"HOSEOK, BOLEH AKU bicara denganmu? Empat mata, please." Wajah Namjoon tegang. Hoseok menatapnya tajam, penasaran menyaksikan kegetiran yang begitu kentara di wajah pria itu. Ia menengok ke belakang Namjoon, ke pintu ruang kerja, dan Namjoon membaca jalan pikirannya.

"Seokjin bermain catur dengan Jungkook," kata Namjoon dengan suara berat sambil menyusupkan tangan ke saku dan berjalan ke pintu yang mengarah ke halaman dalam rumah.

Keraguan Hoseok hanya sesaat, ia pun menyusul Namjoon. Ia tidak ingin ada komentar miring tentang kebersamaannya dengan Namjoon, tapi di sisi lain, ia tahu Namjoon takkan mencoba merayunya, dan ia kesal harus merasa bersalah karena bersikap ramah kepada Namjoon. Seokjin masih berusaha menjalin pertemanan dengannya, dan Hoseok menyadari ia benar-benar menyukai Seokjin.

Seokjin sangat mirip Jungkook-sikapnya terus terang dan siap menerima tantangan. Kadang-kadang Hoseok dihantui pikiran meresahkan bahwa Seokjin lebih mudah mengawasinya di balik kedok pertemanan, tapi makin lama pemikiran itu hadir karena kecemasannya sendiri, bukan karena Seokjin merencanakannya lebih dulu.

"Bukankah keadaan berjalan baik?" Hoseok bertanya pelan kepada Namjoon.

Namjoon tertawa getir sambil mengusap tengkuk. "Kau tahu jawabannya tidak. Aku tidak tahu mengapa," sahut Namjoon dengan lelah. "Aku sudah mencoba, tapi di balik benakku pikiran itu selalu ada, bahwa dia takkan mencintaiku seperti dia mencintai Jungkook, bahwa aku tak cukup berarti seperti Jungkook, dan itu membuatku hampir muak menyentuhnya."

Hoseok memilih kata-katanya dengan hati-hati, mengutipnya satu per satu seperti memetik bunga liar. "Situasi saling benci lumrah terjadi. Aku melihat ini terus-menerus, Joon. Kecelakaan seperti ini mengguncang jiwa semua orang yang terhubung dengan pasien. Jika yang terluka anak-anak, akan terjadi saling benci antara orangtua, juga anak lain dalam keluarga itu. Dalam situasi seperti ini, ada satu orang yang menerima semua perhatian dan yang lain tidak menyukai itu."

"Kau membuatku terkesan begitu kecil dan picik," kata Namjoon, satu sudut bibirnya yang tegas melekuk ke atas.

"Bukan begitu. Apa yang kaurasakan itu manusiawi." Suara Hoseok masih penuh kehangatan dan rasa sayang. Namjoon menatapnya lekat-lekat, tatapannya merayapi wajah lembut Hoseok. "Keadaan akan membaik," Hoseok menenangkannya.

"Cukup cepat untuk menyelamatkan pernikahanku?" tanya Namjoon dengan suara berat. "Kadang-kadang aku hampir membenci Seokjin, dan itu ganjil, karena alasanku membenci Seokjin adalah dia tidak mencintaiku seperti aku mencintainya."

"Mengapa dia yang harus menerima semua kesalahan itu?" desak Hoseok. "Mengapa kau tidak menunjukkan sebagian kemarahanmu pada Jungkook? Mengapa kau tidak membenci Jungkook karena menyita semua perhatian Seokjin?"

Namjoon terpingkal-pingkal. "Karena aku tidak jatuh cinta pada Jungkook." Ia terkekeh. "Aku tidak peduli apa yang Jungkook lakukan dengan perhatiannya... kecuali itu menyakiti hatimu."

Hoseok terkejut. Mata besarnya semakin besar. Dalam keremangan senja, matanya berkilat keemasan, dalam dan tidak berdasar seperti mata tupai. "Bagaimana Jungkook bisa menyakitiku?" tanya Hoseok dengan parau.

"Dengan membuatmu jatuh cinta kepadanya." Namjoon sungguh jeli, bisa meringkas sebuah situasi hanya dengan melihat sepintas. "Aku memperhatikan kau berubah dua minggu terakhir ini. Sebelumnya kau sudah cantik, Tuhan pun tahu, tapi sekarang kecantikanmu makin memesona. Kau... bercahaya. Pakaian barumu, ekspresi wajahmu, bahkan cara berjalanmu... semua berubah. Sekarang Jungkook sangat membutuhkanmu sehingga semua orang tersingkir dari pikirannya, tapi bagaimana nanti? Ketika Jungkook bisa berjalan lagi, apakah dia masih akan menatapmu seolah matanya menempel padamu?"

Come Lie To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang