Book 4

1.2K 180 22
                                    

HOSEOK TERBARING DENGAN mata terbuka, memperhatikan pola-pola cahaya yang diciptakan bulan baru di langit-langit putih. Namjoon membuat keajaiban dan memberitahunya saat makan malam tadi bahwa gimnasium siap digunakan, tapi masalah Hoseok adalah Jungkook. Tanpa ia tahu sebabnya, pria itu kembali menutup diri dan mengalami depresi. Dia menyantap makanan yang Alberta sajikan di depannya, berbaring membisu dan tidak mengeluh saat Hoseok melatih kakinya, dan itu tidak benar. Terapi bukan proses yang seharusnya diterima pasien dengan pasif, seperti yang Jungkook lakukan. Dia boleh hanya berbaring dan membiarkan Hoseok menggerakkan kakinya, tapi ketika mereka mulai berlatih di gimnasium dan kolam renang, Jungkook harus berpartisipasi aktif.

Jungkook tidak mau memberitahu Hoseok apa yang mengganggu pikirannya. Ia tahu persis kapan itu terjadi, tapi ia tidak bisa menebak apa pemicunya. Mereka saling mencaci saat Hoseok memijat Jungkook sebelum memulai latihan, dan tiba-tiba tatapan Jungkook berubah hampa dan mati, dan sejak saat itu dia berhenti merespons apa pun ledekan Hoseok. Menurut Hoseok, itu tidak ada kaitan dengan yang ia katakan; candaannya hari ini dilakukan dengan riang karena semangat Jungkook mengalami kemajuan besar.

Saat melongok ke angka jam yang bercahaya, Hoseok melihat sekarang sudah lewat tengah malam. Seperti kebiasaannya setiap malam, ia bangun untuk memeriksa keadaan Jungkook. Ia tidak mendengar suara-suara yang biasa Jungkook keluarkan ketika mencoba membalikkan tubuh, tapi sejak tadi ia memang larut dalam pikirannya sendiri.

Begitu masuk kamar Jungkook, Hoseok melihat kaki pria itu sedikit tertekuk dengan posisi canggung, yang berarti dia sudah mencoba mengganti posisi. Dengan lembut Hoseok meletakkan tangan kiri di bahu pria itu dan tangan kanan di kakinya, siap mengganti posisi Jungkook.

“Hoseok?”

Suara Jungkook yang lirih dan ragu mengejutkan Hoseok hingga terlonjak ke belakang. Ia begitu terfokus pada kaki Jungkook sehingga tidak melihat mata Jungkook terbuka, meski sinar bulan yang bergerak-gerak di ranjang cukup terang untuk Hoseok bisa melihat Jungkook.

“Kupikir kau tidur,” gumam Hoseok.

“Kau sedang apa?”

“Membantumu berbaring miring. Aku melakukan ini setiap malam. Ini pertama kali tidurmu terganggu ketika aku melakukannya.”

“Tidak, tadi aku memang sudah bangun.” Rasa penasaran menyusup dalam suara Jungkook ketika dia menggeser bahu dengan gelisah. “Maksudmu, kau ke kamarku setiap malam untuk mengganti posisi tubuhku?”

“Sepertinya tidurmu lebih nyaman jika berbaring miring,” kata Hoseok, menjelaskan.

Jungkook mengeluarkan tawa singkat yang getir. “Aku tidur lebih nyenyak jika telungkup, setidaknya dulu begitu. Sudah dua tahun aku tidak tidur telungkup.”

Kedekatan dalam keheningan malam, kamar yang diterangi sinar bulan, menciptakan suasana seolah manusia di bumi hanya mereka berdua, dan Hoseok menyadari keputusasaan mendalam yang menguasai Jungkook. Mungkin Jungkook juga merasakan kedekatan khusus dengannya; mungkin sekarang, dengan kegelapan sebagai tameng pemisah, Jungkook bersedia bicara dan menceritakan apa yang mengganggu pikirannya. Tanpa ragu, Hoseok duduk di pinggir ranjang dan mengangkat sedikit kemeja tidurnya..

“Kook, ada apa? Ada yang mengganggu pikiranmu,” kata Hoseok pelan.

Bingo,” gumam Jungkook. “Kau juga mempelajari psikologi saat mengikuti latihan menjadi pria super?”

Hoseok mengabaikan usaha Jungkook mengalihkan topik dan meletakkan tangan di lengan Jungkook. “Tolong beritahu aku. Apa pun itu, itu bisa mengganggu terapimu. Gimnasium sudah siap untukmu, tapi kau belum siap menggunakannya.”

Come Lie To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang