JUNGKOOK PATUH MENJALANI latihan dengan murung, tapi itu tidak membuat Hoseok terusik asalkan Jungkook mau bekerja sama. Otot-otot Jungkook tidak berurusan dengan wajah cemberutnya; gerakan dan stimulasi, itu yang penting. Hoseok bekerja tanpa lelah, bergantian melatih kaki Jungkook dan memijat sekujur tubuhnya. Sudah hampir setengah sebelas ketika Hoseok mendengar bunyi berisik yang tanpa sadar disimaknya sepanjang pagi: keletak-keletuk sepatu Seokjin. Hoseok mengangkat kepala, lalu Jungkook juga mendengarnya. “Tidak!” kata Jungkook dengan serak. “Jangan biarkan dia melihatku seperti ini.”
“Baiklah,” sahut Hoseok dengan tenang. lalu membalikkan selimut untuk menutupi Jungkook. Setelah itu ia berjalan ke pintu dan melangkah ke lorong, menghalangi Seokjin yang siap masuk kamar Jungkook.
Seokjin menatapnya dengan tercengang. “Apakah Jungkook sudah bangun? Aku hanya ingin mengintip. Biasanya dia baru bangun tengah hari.”
Tidak heran dia marah besar saat kubangunkan pukul enam! pikir Hoseok dengan geli. Ia berkata blakblakan kepada Seokjin, “Aku sedang melatihnya.”
“Sepagi ini?” Seokjin melengkungkan alis dengan heran. “Yah, aku yakin kau sudah memberinya cukup latihan untuk hari ini. Karena dia bangun pagi, dia pasti sudah siap menikmati sarapan. Selera makannya buruk sekali. Aku tidak ingin dia melewatkan jam makan satu kali pun. Aku akan masuk dan menanyakan dia ingin apa—”
Ketika Seokjin mencoba memutari Hoseok untuk masuk ke kamar Jungkook, Hoseok dengan gesit melangkah ke samping sehingga tubuhnya sekali lagi menghalangi pintu. “Maaf.” katanya dengan suara selembut mungkin saat Seokjin menatapnya tak percaya. “Jungkook sudah sarapan. Aku menyusunkan jadwal untuknya, dan penting baginya untuk mematuhi jadwal itu. Setelah menjalani latihan sejam lagi, kami akan turun untuk makan siang, kalau kau bersedia menunggu selama itu.”
Seokjin masih menatap Hoseok seolah tidak memercayai pendengarannya. “Maksudmu…,” ia berbisik, terdiam, lalu bicara lagi, kali ini lebih kuat, “Maksudmu aku tidak bisa bertemu adikku?”
“Saat ini, tidak. Kami harus merampungkan sesi latihan.”
“Apakah Jungkook tahu aku di sini?” desak Seokjin, pipinya tiba-tiba memerah.
“Ya, dia tahu. Dia tidak ingin kau melihatnya saat ini. Tolong, cobalah mengerti perasaannya.”
Mata indah Seokjin melebar. “Oh! Oh, aku mengerti!” Mungkin itu benar, tapi Hoseok agak meragukannya. Perasaan sakit hati berkelebat sesaat di mata Seokjin, setelah itu dia mengedikkan bahu sedikit. “Aku… aku akan menemui dia sejam lagi kalau begitu.” pria itu berbalik dan pergi, Hoseok memperhatikannya sesaat, bisa membaca emosinya yang terluka di setiap garis punggungnya yang tegak. Wajar kalau orang terdekat pasien menjadi cemburu mengetahui keakraban yang memang dibutuhkan antara pasien dan terapisnya, tapi Hoseok selalu merasa tidak enak hati saat hal itu terjadi. Ia tahu keakraban yang terjalin sifatnya sangat sementara, begitu pasiennya pulih dan tidak lagi membutuhkan jasanya, ia akan pergi menangani pasien lain dan pasien lama akan melupakan semua tentangnya. Dalam kasus Jungkook, tidak ada yang perlu dicemburui. Satu-satunya perasaan yang Jungkook miliki untuk Hoseok hanya permusuhan.
Saat Hoseok masuk lagi ke kamar, Jungkook memutar kepala untuk menatapnya lekat-lekat. “Dia sudah pergi?” tanya Jungkook dengan cemas.
“Seokjin menunggu di bawah untuk makan siang bersamamu,” sahut Hoseok, lalu melihat kelegaan di wajah Jungkook.
“Bagus. Dia… hampir hancur berkeping-keping saat kecelakaan itu terjadi padaku. Dia pasti histeris kalau melihat seperti apa keadaanku sesungguhnya.” Sakit hati membuat mata Jungkook menggelap. “Dia istimewa bagiku. Bisa dibilang aku yang membesarkannya. Hanya aku keluarga yang dia miliki.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Lie To Me
Fiksi PenggemarKecelakaan mengerikan membuat Jeon Jungkook lumpuh, membuatnya kehilangan semangat hidup. Ia pesimistis akan pulih kembali dan menolak semua bentuk terapi yang disarankan. Sebagai terapis andal, Jung Hoseok yang ditawari pekerjaan untuk membantu mem...