Part 1

4.1K 96 1
                                    


“Neng, besok Aa minta waktu, ya. Kalo bisa temuin Aa di kedai Mang Rohim. Ada yang pengen Aa omongin.”

Kupandangi sosok pria di hadapan dengan tatapan dingin. Jujur, aku sudah tidak terlalu perduli. Rasa sakit dan benci yang menjalar sepertinya sudah memudarkan rasa lain yang sebelumnya terasa begitu indah.

“Iya, liat besok aja,” jawabku malas.

“Aa tunggu ya, Neng.”

Aku berlalu tanpa memberi jawaban lebih lanjut. Malas sekali melihat wajahnya yang sok dipasang memelas. Sudah untung tidak aku ludahi.

Namanya Bayu, dia kakak kelasku. Statusnya denganku saat ini mungkin pacar, mungkin juga bukan. Tidak jelas.

Sebelumnya sih, aku sempat merasa istimewa, katanya ‘kita pacaran, ya’. Lalu setelah tiga bulan, beberapa hari yang lalu aku mengetahui kabar dari beberapa teman bahwa dia juga memiliki pacar di sana dan di sini.

Tentu saja semua informasi itu tidak begitu saja aku telan mentah-mentah. Cek dan ricek aku lakukan. Mencari tahu sampai ke detail terkecil tentang perempuan-perempuan selain aku di luar sana. Dan hasilnya sungguh di luar nalar. Ternyata bukan hanya satu atau dua perempuan.

Darahku mendidih. Dasar laki-laki titisan anoa. Masih mending jika rupanya setara dengan Nicholas Saputra, sedangkan kenyataannya, ah, sudahlah. Bahkan sampai hari ini aku masih tidak mengerti bagaimana bisa dulu aku begitu menggilainya.

Semalaman aku tidak bisa tidur. Bukan memikirkan bagaimana aku menyikapi patah hati. Tapi tindakan apa yang bagusnya aku lakukan besok.

Menyiramnya dengan minuman? Ah, sudah terlalu mainstream.

Berteriak-teriak mengatakan ia penghianat dan tukang selingkuh seraya menangis histeris di kedai Mang Rohim? Absolutely big no. Itu hanya akan mempermalukan diriku sendiri. And, that’s not my style.

Ingin rasanya aku membawa dia ke rumah jagal, meminta untuk dijadikan potongan-potongan kecil lalu rebus dan diberikan sebagai pakan ternak lele milik Pak Lurah.

Bukan, ini bukan karena aku kelewat cemburu. Ini lebih kepada rasa kesal karena sudah dibodohi dengan begitu mudahnya.

Cinta terkadang memang membuatmu sebodoh itu.

Keesokan harinya, dengan perasaan antara kesal dan malas, aku melangkah menuju kedai Mang Rohim. Jaraknya memang tidak begitu jauh dari rumahku, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki.

Waktu yang cukup untukku mengumpulkan segala kalimat caci maki dan sumpah serapah yang nanti akan aku tumpahkan di hadapan Bayu.

-bersambung-

(Bukan) Kisah Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang