Penemuan 3

6.6K 481 18
                                    

Pria berperawakan tinggi itu melepas maskernya dan seraut wajah tampan dengan garis rahang tegas serta hidung mancung serupa Jungkook, tersenyum hangat.

"A—yah?"

Kelegaan terpancar di paras pucat sang putra yang telah berlinang jelaga air mata.

Lee merengkuh Jungkook dalam kehangatan pelukan dan merasakan deru napas yang tak beraturan mengusik dada bidangnya, tempat di mana si kesayangan menyandarkan kepala.

"Maafkan ayah, Nak."

Kata yang terbata penuh getar terucap, menahan sesak nan membuncah. Kembali mengeratkan pelukannya, ia menciumi pucuk rambut yang lepek oleh keringat hingga dirasakannya ritme napas teratur Jungkook. Ia pun bisa bernapas lega.

Lee membaringkan buah hatinya dengan lembut, menata anak rambut yang berantakan sambil sesekali menghapus jejak air mata Jungkook yang baru saja berjuang dari maut.

Masih lekat dalam ingatan bayang kematian yang mengikuti Jungkook, membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.

.
.
.

Satu jam lalu dengan celana jeans dipadu padan kaos hitam serta masker di wajah, Lee menerobos masuk emergency room dan terhenyak menjadi saksi pejuangan putranya bertahan hidup.

Di atas brankar, tergolek tubuh Jungkook dengan mata terpejam tak merespon tepukan maupun panggilan dokter muda yang berusaha menariknya dari ketidaksadaran. Darah segar masih mengalir dari luka di kepala dan hidung membuat kaos abu mudanya memerah cranberry.

Dengan cekatan, perawat yang Lee kenal sebagai Minah memasang infus intravena lalu mengambil sempel darah Jungkook dan memberikannya pada perawat lain yang segera berlari menuju laboratorium.

Ratusan detik terlewat, seorang dokter paruh baya tergesa masuk dengan sepasang netra terfokus pada lembar rekam medis dan hasil laboratorium yang ada di tangannya. Tanpa membuang waktu segera memberi instruksi medis pada dokter muda yang ada dihadapannya.

"Tenanglah," dokter lima puluh tahunan itu menepuk pundak Lee lembut.

"Kak Hwan, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lee dengan fokus yang tak teralih sedikit pun dari putranya.

"Kurasa serangan kali ini membuatnya panik. Kemungkinan anakmu meminum obat tak sesuai dosis dan membuatnya epistaksis."¹

"Ini semua salahku. Jungkook pasti emosi karna aku tak menemuinya. Aku tak akan memaafkan diriku bila terjadi sesuatu padanya."

Lee menghantam kuat tembok, melampiaskan segenap penyesalan yang membuncah. Dokter Hwan membalik tubuh Lee dan memaksa dua pasang netra saling bersitatap.

"Dengar! Jungkook sangat bergantung padamu sekarang. Kau harus kuat demi dia."

Tubuh tegap Lee meluruh terduduk di lantai, menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut dan ia pun menangis tersedu.

Seumur hidupnya, dokter Hwan tidak pernah melihat sosok di hadapannya terlihat begitu rapuh, pun saat kematian istri yang begitu dicintainya.
Ya, dokter Lee Hwan tahu benar siapa Lee Minho, adik semata wayangnya.

"Semua akan baik saja. Yakinlah!

.
.
.

"Ayah memberi Fitomenadion dan FFP² untuk membantu menghentikan pendarahan," ujar dokter muda itu menjelaskan.

"Bagaimana luka di kepalanya, Jin?" tanya Lee cepat.

Tangannya tak lepas membelai surai sepekat jelaga milik Kookoo—panggilan kesayangan Jungkook yang terlelap di sampingnya. Pria yang tetap tampan di usia kepala empatnya ini terpaksa merebahkan diri di ranjang sang anak.
Tak ada lagi nasal kanula yang tersemat di hidung bangirnya, hanya infus yang dengan setia menyalurkan plasma ke tubuh.

GOLDEN BOYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang