Bagian 1

23.4K 304 6
                                    

Irama gamelan mengalun mengiringi tarian seorang gadis yang melenggak-lenggok di tengah kerumunan warga desa Sekarseni dalam sebuah acara merti dusun.

Gadis itu menggerakkan seluruh tubuhnya dengan khusyuk, indah, dan memesona. Dengan pakaian adat berupa kemben dan selendang yang terikat di pinggang, ia gemulai menari-nari.

Dialah Fitri Pancawati, penari tradisi desa Sekarseni. Usai mengikuti seleksi yang ketat, akhirnya ia berhasil menjadi penari utama. Menggantikan pendahulunya, Kurniasari, yang terpaksa harus lengser karena hamil. Entah benih siapa, karena sebagai penari tradisi, ia bisa 'dipakai' oleh para sesepuh desa. Begitu tradisinya.

Aura kecantikan Fitri semakin terpancar usai mengikuti ritual penobatan. Ya, memang begitulah adanya. Ada campur tangan dari makhluk tak kasat mata pada acara itu hingga hal yang tak masuk akal pun menjadi hal yang lumrah di desa yang berada di kaki Gunung Wonoputri tersebut.

Kini, gadis berkulit sawo matang itu melakukan tugas pertamanya menari di upacara adat. Ia menjelma menjadi seorang primadona, dipuja kaum adam, dipuji kaum hawa.

Usai perhelatan merti dusun rampung, sesuai peraturan tak tertulis yang telah ada, Fitri mendapatkan imbalan dari jasa menarinya. Dua juta rupiah jumlahnya, diambil dari dana kas desa. Terhitung cukup besar untuk penghasilan seorang penari di pelosok desa. Belum lagi, ia juga mendapat gaji bulanan. Itulah kenapa jabatan sebagai penari tradisi menjadi sangat diidam-idamkan oleh para gadis di sana. Selain popularitas, materi pun mudah diraup.

"Fitri, jangan lupa nanti malam kamu harus melakukan ritual mandi kembang," ucap Subroto, kepala desa, saat Fitri berpamitan hendak pulang.

"Injih, Pak," jawab Fitri dengan hati berdebar memikirkan tentang ritual yang akan ia jalani malam nanti. Mandi kembang hanyalah sebuah istilah saja. Hanya sebagai penyebutan agar tak terdengar vulgar. Sejatinya, acara itu adalah acara sesepuh desa 'meniduri' sang penari.
-------------
Hari telah beranjak malam, telah tiba waktunya bagi Fitri menunaikan tugas. Mendatangi tempat ritual mandi kembang yaitu di sebuah rumah di samping balai desa.

Rumah ini nyaris seperti penginapan karena terdapat sepuluh kamar tidur. Sebenarnya tempat ini adalah rumah singgah bagi para tamu desa, misalnya saja tamu kehormatan saat ada kunjungan dari kota, mahasiswa KKN, dan lain sebagainya. Namun, ada satu kamar yang dikhususkan untuk ritual mandi kembang.

Gadis berparas ayu dengan rambut sepanjang punggung itu berjalan memasuki halaman rumah singgah usai sang ayah menurunkannya di pintu gerbang. Ia akan dijemput esok harinya saat matahari telah terbit.

Seorang penjaga malam menyambut kedatangan Fitri lalu mengantar sampai kamar 'eksekusi'. Slamet Subagyo, carik desa yang malam ini mendapat jatah mencicipi 'madu' sang penari tradisi, telah bersiap menunggu di dalam kamar.

"Kamu sudah datang?" sapa Slamet saat gadis itu masuk. Fitri hanya tersenyum dan mengangguk.

"Duduklah dulu, aku akan kirim sesajenan dulu," ucap pria paruh baya berbadan tambun itu.

Fitri menuruti perintah pria itu. Ia duduk di ranjang yang dipenuhi mawar merah. Ya, mau tak mau memang harus duduk di sana, karena tak ada kursi di kamar itu. Hanya ada sebuah ranjang dan sebuah meja pendek yang berisi seperangkat sesajen berupa bunga tujuh rupa, buah-buahan, uang koin, dan wadah untuk membakar kemenyan.

Ini kali ketiga Fitri berada di sini, jadi sudah tak terlalu asing. Pertama kali ia kesini untuk melayani tetua adat saat seleksi. Lalu yang kedua kalinya melayani kepala desa saat usai prosesi penobatan sebagai penari tradisi.

Slamet duduk bersila di depan meja sesajen. Mulut komat kamit, entah membaca apa. Sejenak kemudian membakar dupa. Aroma wangi seketika menyeruak ke seluruh sudut kamar. Suasana mistis mulai terasa. Namun, Fitri tak begitu memikirkan tentang hal itu, ia hanya terpikir tentang apa yang sebentar lagi akan dihadapinya.

Pria tambun itu sudah menampakkan wajah 'lapar'. Seringainya tampak lebih menyeramkan dibanding seekor macan. Ia tampak lebih ganas dan beringas.

Fitri gemetar ketakutan, tapi tak bisa menolak atau melarikan diri. Konon, penari yang tak mau menjalani ritual sesuai aturan, ia akan mendapat hukuman dari roh para leluhur. Menjadi seorang yang sakit-sakitan, lalu meninggal tak lama setelahnya.

Akhirnya, tembok tua rumah itu menjadi saksi bisu buasnya carik desa menyesap 'madu' sang penari. Suara burung hantu yang bersarang di rimbunan pohon bambu belakang balai desa menjadi pengiring desahan haram Slamet.

Semilir angin menyusup melalui sela-sela jendela kamar. Fitri merapatkan selimut untuk melawan hawa dingin yang menyerang. Maklum, ia kini telah tak berpakaian usai Slamet berhasil menikmatinya.

Pria beristri dua itu kini telah tertidur pulas, sedang Fitri masih belum bisa memejamkan mata. Ia menangis di balik selimut, menyesali apa yang baru saja terjadi.

'Benarkah ini? Apakah aku harus terus melalui ini? Apa aku tak bisa hidup normal seperti wanita lain?'

Benak Fitri bergejolak. Meski para gadis sangat menginginkan menjadi seorang penari tradisi, tapi tidak baginya. Ia justru terpaksa melakukannya. Jika saja sang ibu tak sakit-sakitan dan membutuhkan banyak uang untuk pengobatan, mungkin ia tak mau melakukannya.

Tanpa Fitri sadari, ada seorang pria yang akan datang untuk membawanya keluar dari penderitaan. Siapa dia?

Tbc.

Madu sang Penari Tradisi (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang