Gerak langkah kaki sang penari desa Sekarseni harus terhenti di ujung jalan dekat balai desa saat pulang dari latihan menari di rumah Yayuk, pelatihnya, karena ada seseorang yang memanggil.
Fitri menoleh ke arah sumber suara. Ia sangat terkejut ketika tiba-tiba tangan dan tubuhnya di tarik masuk ke dalam rimbunan pohon singkong yang berada persis di samping tempatnya berhenti tadi.
Seorang pria bertubuh tinggi besar mendekap erat tubuh Fitri. Nyaris tak bisa bernapas karena tangan kekar pria itu membekap kuat mulutnya. Hingga ia hanya bisa menjerit tertahan.
Jantung berdegup sangat kencang. Ketakutan luar biasa dirasakan gadis itu. Fitri mencoba berontak sekuatnya, tapi sia-sia. Tenaga pria itu jauh lebih kuat.
Di bawah temaram cahaya bulan, samar-samar Fitri mengenali wajah tak asing itu. Matanya melotot terkejut tak percaya. Dia Udin! Tetangga sebelah rumah. Bagaimana bisa seorang yang begitu dekat dan kenal baik, tega melakukan hal sekeji itu.
Di balik bekapan tangan Udin, Fitri meronta. Berusaha menghindari 'serangan' membabi buta.
"Lepaskan!" Meski samar, Fitri berhasil mengucapkannya dengan sekuat tenaga.
"Ndak! Ndak akan aku lepas! Aku mau menikmati tubuhmu!" Udin akhirnya membuka suara dengan napas memburu.
"Kenapa? Ndak boleh? Kenapa aku ndak boleh sedang para sesepuh desa kepar*at itu boleh menjamahmu? Kenapa?" sambungnya dengan suara tertahan agar tak terdengar orang lain.
Fitri tak menjawab. Ia menangis dan menjerit sambil terus berusaha melepaskan diri. Namun, siapa yang akan menolong? Tempat ini begitu sepi. Jarang ada orang lewat.
Fitri nyaris kehabisan tenaga. Di saat ia hampir putus asa, tiba-tiba seseorang datang dan memukul kepala Udin dari belakang menggunakan sebuah balok kayu. Seketika tubuh Udin terhuyung lalu ambruk di tanah.
Fitri yang masih gemetaran merasakan lemas di seluruh persendian hingga tak mampu menahan tubuh untuk tetap tetap berdiri. Ia hampir roboh. Beruntung orang yang baru saja menolong itu berhasil meraih tubuh Fitri lalu membawanya ke tempat yang lebih aman.
-------------
Mardi yang hendak menutup pintu gerbang rumah singgah tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan Fachry dengan membopong Fitri. Ia segera mendekat, lalu membantu dokter muda itu membopong gadis penari."Kita bawa ke kamar saya saja, Pak Mardi! Di sana ada perlengkapan medis saya," ucap Fachry dengan napas tersengal.
"Baik, Pak Dokter."
"Ada apa ini, Pak Dokter? Kenapa Fitri bisa pingsan seperti ini?" tanya Mardi usai membaringkan Fitri di tempat tidur.
"Dia baru saja mengalami percobaan pemerkosaan. Oh, iya, Pak. Tolong Bapak urus pelaku di kebun singkong dekat balai desa. Dia pingsan. Tadi saya pukul pakai kayu. Amankan agar tak melarikan diri!"
"Baik, Pak!" Mardi segera berlari melaksanakan perintah Fachry.
Sepeninggal Mardi, Fachry mengambil sebuah bantal untuk mengganjal tungkai Fitri, lalu menyelimuti badannya.
Sejenak kemudian mengambil tensimeter, lalu mengukur tekanan darah dan denyut nadi Fitri. Bersyukur, gadis itu tak mengalami syok berat.
Menatap wajah yang tengah terbaring di tempat tidurnya, pikiran Fachry melayang. Bagaimana bisa seorang gadis berjalan sendirian di malam seperti ini. Apa tak memperhitungkan akan terjadi hal-hal buruk, seperti yang baru saja dialaminya? Fachry sungguh tak habis pikir.
Ditatapnya tiap inci wajah gadis itu begitu dalam. Alis dan bulu mata yang tebal, pipi tirus, hidung mancung, serta bibir ranum Fitri membuat dada Fachry tiba-tiba berdebar. Detak jantungnya tak beraturan.
Suara jangkrik yang biasanya terdengar biasa saja, entah kenapa malam ini menjadi seperti bernada di telinga sang dokter. Seolah menjadi 'theme song' suasana hatinya yang telah terbius pesona si penari tradisi.
Di tengah kekhusyukan Fachry menikmati rasa yang tak biasa, tiba-tiba Fitri membuka mata perlahan.
Mengerjap lalu, menoleh ke arah Fachry dengan alis berkerut. Ia hendak bangkit, tapi ditahan oleh Fachry.
"I-ini di mana? Anda si-apa?" Terbata, Fitri bertanya.
"Coba kamu ingat-ingat. Harusnya kamu tahu ini di mana," jawab Fachry.
Kedua bola mata Fitri berputar mengamati sekitar. Ia merasa seperti tak asing.
"Ini di rumah singgah. Di kamarku," ujar Fachry menjelaskan.
"Apa kamu baik-baik aja? Apa yang kamu rasain? Pusing? Gelisah? Atau yang lainnya?" Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut pria berkulit putih dan bermata sipit itu.
Fitri menggeleng.
Dokter muda itu lalu mengambil satu botol kecil air mineral, membuka tutup, kemudian menyerahkannya kepada Fitri. Gadis itu menerima lalu segera meminumnya. Hanya dengan beberapa tegukan saja, isi dalam botol itu telah berpindah tempat masuk ke dalam perut.
Saat Fitri kembali berbaring, Mukijan, Subroto, dan beberapa warga desa masuk ke dalam ruangan di mana Fitri berada. Ayah Fitri segera mendekati dan memeluk putrinya. Tangis haru tak terhindarkan. Suasana menjadi begitu menyayat hati.
"Maafkan bapak, Nduk! Maafkan bapak ...."
"Sudah cukup, Mukijan! Ini bukan waktunya menangis! Ada hal yang lebih penting yang harus diselesaikan!" Suara Subroto menggelegar.
"Ini soal jabatan Fitri sebagai penari tradisi! Dia harus segera diganti karena sudah tidak suci lagi!"
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu sang Penari Tradisi (END)
Lãng mạnFitri Pancawati, gadis berparas ayu itu adalah penari tradisi desa Sekarseni. Demi menjadi seorang penari tradisi, ia harus rela 'madu'-nya dicicipi oleh para sesepuh desa.