Mentari menyingsing dari ufuk timur. Fitri bergegas membersihkan diri lalu segera beranjak pergi meninggalkan rumah singgah menyusul Slamet yang telah lebih dulu pulang.
Fitri berjalan gontai, melangkah menyusuri halaman berumput yang luas. Menunduk untuk menutupi wajah sembabnya.
Bruk!
Tiba-tiba tubuh Fitri menabrak seseorang saat hampir sampai di pintu gerbang.
"Auww ...." Seorang pria muda berusia sekitar tiga-puluhan mengaduh kesakitan.
Perlahan Fitri mengangkat wajahnya, "Maaf." Lalu segera menunduk lagi.
Pria itu sedikit terkaget menatap wajah gadis di depannya.
Entah merasa bersalah atau apa, pria itu menjadi sedikit salah tingkah setelah memandang wajah Fitri. Matanya mengerjap kemudian berdehem.
"Sorry," ucap pria itu.
"Permisi." Fitri pamit dan segera berlalu meninggalkan pria yang bola matanya masih mengekori gadis dengan rambut basah terurai itu.
Seperti masih ada yang ingin dikatakan pemuda itu namun tak bisa terucap karena Fitri keburu pergi dengan langkah panjang, lalu membonceng motor sang ayah yang telah menunggunya di depan pintu gerbang.
Tergopoh, Mardi--tukang kebun sekaligus penjaga rumah singgah, berlari menemui pemuda yang baru saja bertabrakan dengan Fitri.
"Eh, Dokter Fachry sudah datang. Kapan sampai? Naik apa kesini?" sapa Mardi.
"Barusan. Biasa, bawa mobil. Eh, Pak, cewek yang barusan lewat sini siapa?" tanya pemuda yang ternyata seorang dokter bernama Fachry.
"Cewek? Mana?" Mardi celingukan memutar kepala mencari sosok yang dimaksud.
"Itu ... yang barusan keluar terus naik motor di depan. Pake baju biru. Rambutnya panjang."
Sejenak Mardi terdiam, lalu mulutnya membentuk huruf 'o'.
"Oh ... itu Fitri, penari adat kampung sini, Pak Dokter!"
"Ngapain pagi-pagi gini di sini?"
Mardi berpikir sejenak, mungkin ia sedang merangkai kata agar tak salah bicara.
"Itu ... anu ... Pak Dokter. Semalam dia melakukan ritual mandi kembang."
"Mandi kembang? Ritual apaan itu, Pak?"
"Emm ... itu ... emm ... ya saya ndak tahu ngapain soalnya di dalam kamar sana." Pria tua berbadan kurus itu menunjuk ke sebuah kamar yang berada di ujung bangunan rumah. Kamar itu tampak tak berbeda dari kamar-kamar lain yang berjajar di sebelahnya. Hanya saja kamar itu tertutup rapat, bahkan jendelanya pun tertutup kain gorden dengan sempurna sehingga orang dari luar tak dapat melihat bagian dalamnya.
"Kenapa dia ngelakuin ritual itu, Pak?"
"Dia itu penari tradisi utama desa ini, Pak Dokter. Belum lama dilantik. Kemarin dia tampil di acara merti desa. Sesuai aturan turun temurun, penari tradisi harus melakukan ritual mandi kembang setelah pentas. Katanya untuk menyucikan si penari itu ...."
Fachry manggut-manggut. Mulut pemuda gagah yang berpenampilan keren layaknya orang kota itu hendak mengeluarkan pertanyaan lagi, tapi Mardi buru-buru mendahuluinya.
"Mari, Pak Dokter Fachry, saya antar masuk ke kamar yang mau dipakai. Sampean pasti capek, berkendara jauh dari kota." Mardi meraih tas dan koper yang dibawa Fachry lalu membawanya menuju tempat yang dimaksud. Mengabaikan dokter muda itu yang masih penasaran.
-------------
Sesampainya di rumah Fitri langsung berjalan menuju kamar ibunya. Sriyatun, tergolek di dipan kayu hanya beralas tikar mendong anyam. Ia tak bisa menggerakkan tubuh sejak terjatuh di kamar mandi satu tahun yang lalu. Sejak itu, Sri--panggilannya, sudah tak bisa melanjutkan rutinitasnya lagi sebagai penjual bakmi di pasar. Hari-hari dilaluinya hanya berbaring di kamar saja."Mak, Fitri pulang," sapa putri tunggal pasangan Sriyatun dan Mukijan itu lalu meraih dan mencium tangan ibunya.
Sri tak mengeluarkan sepatah kata pun. Menatap wajah Fitri, air matanya meleleh. Bulir-bulir bening terus saja berjatuhan dengan deras seiring tersayatnya hati seorang ibu yang mengetahui dan menyadari putri yang dilahirkannya dengan susah payah harus menanggung penderitaan teramat dalam.
Fitri tak pernah mengungkapkan tentang perasaannya, bahwa ia terluka atas apa yang dilaluinya. Namun, nurani seorang ibu bisa membacanya meski tanpa bertanya.
"Mak, sudah ... jangan menangis. Fitri ndak apa-apa. Mamak jangan bersedih. Kalau Mamak terus saja menangis setiap kali Fitri pulang ritual, Fitri jadi merasa bersalah pada Mamak." Sesenggukan gadis berusia delapan belas tahun itu memeluk sang ibu.
"Sudah, ya, Mak. Jangan menangis lagi." Fitri melepas pelukannya. Menyusut air mata di pipi, juga mengusap air mata ibunya.
"Kemarin Fitri dapat uang, Mak. Dua juta. Bisa buat periksa Mamak ke rumah sakit di kota." Fitri mengambil amplop cokelat yang ada di laci dekat Sri berbaring, lalu mengeluarkan isinya. Uang dari Pak Kades.
"Fit ... maafkan mamak. Karena mamak sakit begini, kamu harus menanggung beban seberat ini," ucap Sri terbata.
"Jangan bilang begitu, Mak. Fitri baik-baik saja. Mamak jangan perpikiran bahwa Fitri menderita. Fitri senang bisa cari uang untuk pengobatan Mamak."
-------------
Di ruang Kades di Balai Desa, Subroto menerima kedatangan Fachry."Selamat datang, Dokter. Monggo, silahkan duduk," ucap Subroto seraya menyalami dokter muda itu.
Fachry tersenyum, lalu duduk di seberang meja kerja Kades. "Terima kasih."
"Saya selaku kepala desa Sekarseni mengucapkan terima kasih kepada Pak Dokter Fachry yang berkenan mengabdi di puskesmas sini." Subroto membuka pembicaraan.
"Saya juga berterima kasih telah diterima dengan baik di sini. Semoga saya bisa bermanfaat untuk masyarakat desa ini."
"Pasti bermanfaat, Pak Dokter. Soalnya selama ini ndak ada dokter yang mau ditempatkan di sini. Maklum di sini pelosok, jauh dari kota, jadi ya harap maklum, Dok."
"Oh, begitu. Jadi, kapan saya bisa mulai bertugas?"
"Besok saja, Dok. Dokter kan lelah. Oh iya, Dok. Ehm ... cuma nanya lho ini. Kalau boleh tahu, apa Dokter masih sendiri atau sudah berkeluarga?"
"Saya masih sendiri, Pak. Emangnya kenapa?"
Subroto tertawa kecil. "O ndak pa pa. Cuma, kalau Dokter mau, saya punya anak gadis hehehe ...."
"Oh ... hahaha ... saya belum kepikiran buat menikah, Pak."
Mendengar jawaban Fachry, tawa Subroto menjadi garing.
Tbc.
Kurang greget? Mau yang lebih greget? Ikuti part selanjutnya, ya ....
![](https://img.wattpad.com/cover/195061740-288-k939878.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu sang Penari Tradisi (END)
RomanceFitri Pancawati, gadis berparas ayu itu adalah penari tradisi desa Sekarseni. Demi menjadi seorang penari tradisi, ia harus rela 'madu'-nya dicicipi oleh para sesepuh desa.