Bagian 4

11.1K 216 9
                                    

Saat Fitri kembali berbaring, Mukijan, Subroto, dan beberapa warga desa masuk ke dalam ruangan di mana ia berada. Sang ayah segera mendekati dan memeluk putrinya tersebut. Tangis haru tak terhindarkan. Suasana menjadi begitu menyayat hati.

"Maafkan bapak, Nduk! Maafkan bapak ...."

"Sudah cukup, Mukijan! Ini bukan waktunya menangis! Ada hal yang lebih penting yang harus diselesaikan daripada sekadar menangis!" Suara Subroto menggelegar.

"Ini soal jabatan Fitri sebagai penari tradisi! Dia harus segera diganti karena sudah tidak suci lagi!"

Ucapan Kades mengejutkan Fitri dan semua orang yang ada di sana, tak terkecuali Fachry.

"Maaf, Pak, kalau saya ikut campur tapi apa maksud Bapak mengatakan mbak ini nggak suci lagi? Dia tidak dinodai. Bahkan pakaiannya pun masih lengkap. Saya saksinya," ucap Fachry sambil menunjuk ke arah Fitri yang terlihat syok mendengar perkataan Subroto.

Subroto serta merta menoleh ke arah Fachry.  Ternyata, sejak tiba di tempat itu, ia tak menyadari dokter dari kota itu juga ada di sana.

"Pak Dokter Fachry, kenapa ada di sini?" tanya Subroto canggung.

"Bapak lupa? Ini kan kamar saya," jawab Fachry.

Kades itu melihat ke sekeliling. "Oh, iya. Maaf saya terburu-buru dan panik sehingga ndak menyadari ini di kamar Pak Dokter dan juga ada Pak Dokter di sini."

Subroto berdehem lalu melanjutkan perkataannya seraya menoleh ke arah sang penari, "Fitri! Coba ceritakan apa yang baru saja terjadi!"

Bibir gadis itu terkatup rapat. Tak ada sepatah kata pun keluar dari sana. Masih terus menunduk, Fitri menggeleng sambil menangis. Kedua tangannya mencengkeram erat lengan sang ayah. Sedang Mukijan terpaku. Mengepalkan kedua tangan, seperti berusaha keras menahan amarah yang luar biasa.

"Pak Broto, saya rasa lebih baik besok saja kita bahas masalah ini. Sekarang sudah malam. Lagian, kasihan mbak Fitri. Dia masih syok, belum bisa diajak bicara. Biarkan dia istirahat dan menenangkan diri," ujar Fachry yang kemudian di-iya-kan  oleh beberapa orang yang ada di sana.

Sepertinya Kades berkumis tebal itu tak bisa berkata-kata lagi. Akhirnya ia pergi begitu saja meninggalkan tempat itu, diikuti warga desa yang mengiringinya.
-------------

Burung hantu di pohon bambu belakang balai desa masih terus saja bersuara. Membuat suasana mencekam tak kunjung pergi. Burung-burung itu seperti mengerti suasana hati Fachry yang tengah kacau.

Meski waktu telah memasuki pukul dua pagi, tapi pria tampan yang berbaring di ranjang tersebut masih saja belum bisa tertidur. Pikirannya melayang jauh, teringat tentang semua yang dikatakan Mardi padanya tadi, usai semua orang telah pergi.

Mardi telah menjelaskan semua mengenai Fitri. Mulai tentang alasan mengapa ikut seleksi pemilihan penari tradisi hingga akhirnya terpilih dan dinobatkan; tentang kehidupan keluarga; tentang sakitnya sang ibu; hingga tentang seluk beluk penari tradisi dan ritual-ritual yang menyertainya. Semua telah terekam jelas di kepala sang dokter.

Kini, perasaan Fachry campur aduk. Antara kaget, kasihan, marah, dan tak percaya, semua bergulat di dada. Betapa gadis itu telah mengalami kesengsaraan yang luar biasa, ternyata masih harus mengalami tindak percobaan pemerkosaan.
-------------
Desa Sekarseni geger. Berita mengenai tindak perkosaan yang dialami oleh sang primadona kampung menyebar cepat ke seluruh penjuru desa. Di rumah-rumah, warung, pos ronda, mereka membicarakan kejadian yang menimpa Fitri. Topik panas yang menjadi lebih lezat disantap dengan dibumbui beraneka opini dan cibiran.

Pagi-pagi sekali, sebelum berangkat ke balai desa, Subroto menyempatkan diri datang ke rumah Mukijan. Sengaja, untuk mengurus permasalahan tadi malam.

"Di mana Fitri?" tanya Subroto saat Mukijan menyambutnya.

"Nyuwun sewu, Pak Kades. Fitri sepertinya belum bisa bertemu dengan siapa pun. Dia masih mengurung diri di kamar, ndak mau keluar. Mungkin Pak Kades bisa datang kembali kalau Fitri sudah membaik," jawab Mukijan.

"Loh! Kamu ini gimana to, Pak? Kok malah ngumpetin Fitri. Masalah ini harus segera selesai secepatnya. Fitri itu aset desa. Dia penari yang dibayar oleh desa. Kalau terjadi masalah ya harus diselesaikan! Jangan malah sembunyi!" Kumis Subroto naik turun selaras dengan perkataan yang terucap.

"Pak Kades, mbok jangan teriak-teriak. Saya takut Fitri sama ibune dengar. Kasihan mereka. Mari kita bicarakan baik-baik."

"Halah, embuh! Luweh*! Saya ndak peduli, pokoknya bawa Fitri keluar sekarang! Kalau ndak bisa, terpaksa saya sendiri yang masuk!"

Saat Mukijan kewalahan menghadapi Subroto, tiba-tiba sebuah mobil citycar merah berhenti di halaman rumah. Usai mesin dimatikan, keluarlah dua orang dari dalam mobil. Ternyata Fachry dan Mardi yang datang.

"Selamat pagi, Pak Broto, Pak Mukijan," sapa dokter itu saat memasuki teras rumah Mukijan.

Si pemilik rumah serta merta menyambut kedatangan Fachry dan Mardi yang tak terduga.

"Pak Dokter, ada apa ini kok pagi-pagi sekali sudah ke sini? Apa ndak berangkat ke puskesmas?" tanya Subroto dengan wajah kusut. Sepertinya ia kesal karena lagi-lagi dokter itu mengganggu rencananya.

"Saya memang mau ke puskesmas, Pak. Ke sini hanya mampir untuk mengecek kondisi Fitri. Untuk diketahui, ini salah satu tugas saya sebagai pelayan masyarakat, bukan karena ada urusan pribadi atau alasan lain. Semoga dapat dimengerti."

Subroto tersenyum kecut, lalu menoleh ke arah Mardi. "Kalau kamu ngapain ke sini?"

"Saya nganterin Pak Dokter. Kan Pak Dokter belum tahu rumah Pak Mukijan," jawab Mardi.

"Monggo, silahkan duduk dulu Bapak-Bapak." Mukijan mengarahkan tangannya ke beberapa kursi tua yang berada di teras.

"Ndak usah! Saya masih ada urusan. Besok saja saya kesini lagi," ujar Kades yang kemudian segera pergi usai pamit undur diri.

"Maaf, sebelumnya, Pak Dokter. Tapi sebenarnya Fitri belum bisa bertemu siapa-siapa. Dia ndak mau keluar kamar sejak semalam," terang Mukijan setelah mengantar kepergian Subroto.

"Oh ...." Fachry manggut-manggut. "Memang ini hal yang sudah pasti terjadi pada korban perkosaan. Meski terselamatkan dan belum sampai terjadi, tapi trauma itu pasti ada. Setiap korban akan mengalami tekanan psikis dengan tingkatan yang berbeda. Saya belum tahu Fitri ada pada tingkatan yang mana, karena belum bertemu untuk menganalisa."

Tatapan Mukijan terlihat sendu. "Lalu, harus bagaimana? Apa yang harus saya lakukan, Pak Dokter?"

"Coba Bapak membujuk Fitri untuk mau bertemu dengan saya. Saya akan menganalisa dan melakukan 'therapy healing'. Atau, kalau tidak nyaman dengan saya, nanti saya akan cari orang lain untuk mendampingi. Yang jelas, Fitri harus ditangani, jangan dibiarkan terus menerus memendam trauma. Nanti bisa berakibat buruk bagi kejiwaannya."

"Baik, Pak Dokter. Saya akan melakukan yang Pak Dokter sampaikan." Pria berusia limapuluhan tahun itu mulai berkaca-kaca.

"Kalau begitu, saya pamit dulu. Besok saya kesini lagi, semoga besok sudah bisa bertemu dengan Fitri."
--------------

Di kantor balai desa, Subroto memanggil Slamet Subagyo, Carik Desa. Tentu saja membahas tentang gadis penari.

"Gimana? Kamu setuju to denganku?" tanya Kades dengan tatapan tajam.

Alis Slamet bertautan, berpikir keras.

Tbc.
-------------
Apa yang Subroto dan Slamet rencanakan? Baca part selanjutnya, ya ....
--------------
*luweh = terserah/masa bodoh

Kenapa di ritual mandi kembang Fitri seolah pasrah disetubuhi oleh para sesepuh desa, sedang saat hendak diperkosa ia berontak, bahkan sampai trauma? Temukan jawabannya di part-part selanjutnya. Terima kasih ^^

Madu sang Penari Tradisi (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang