Bagian 5

9.5K 211 2
                                    

Desa Sekarseni kembali geger. Warga dikejutkan dengan berita ditemukannya sesosok mayat di area persawahan tak jauh dari balai desa. Korban adalah seorang pria berbadan besar, tinggi, kulit hitam, rambut lurus pendek, berusia sekitar dua puluh lima tahunan. Tak salah lagi, dia Udin! Pria yang kemarin malam nyaris memperkosa sang gadis penari.

Berita itu santer beredar di desa hingga sampai ke telinga Mukijan. Ia nyaris tak percaya dengan apa yang disampaikan oleh salah seorang tetangga yang memberitahunya. Untuk memastikan, ia bergegas mendatangi lokasi ditemukannya mayat.

Mata sayu Mukijan nyaris melompat keluar saat menyaksikan sendiri  mayat yang tergeletak di tanah bersimbah darah tersebut benar-benar Udin. Begidik ngeri melihat sebilah pisau tertancap di perut Udin.

Kepala Desa beserta jajarannya mendatangi lokasi tak lama setelah Mukijan datang. Subroto segera menyampaikan instruksi.

"Bapak-Bapak dan Mas-Mas yang ada di sini, mari kita urus segera jenazah ini lalu langsung dimakamkan saja. Berhubung dia hanya sebatang kara maka ndak perlu nunggu persetujuan keluarga. Ndak usah repot-repot lapor polisi. Biar nanti anak buah saya yang cari pelakunya. Mengerti, ya, Bapak-Bapak?"

Tak ada yang menjawab pertanyaan Subroto. Warga desa masih berkasak-kusuk membicarakan pendapat dan opini masing-masing sehingga membuat sang Kades naik pitam.

"Dengar, ya, Saudara-Saudara! Kalau sampai ada yang lapor polisi, lalu banyak polisi datang ke desa kita, bukankah berita ini akan cepat menyebar ke mana-mana. Ini aib! Apa kalian mau, desa kita dicap sebagai desa terkutuk karena ada kejadian pembunuhan di sini?" Lantang Subroto mencoba mencuci otak warga Sekarseni.

Perlahan tapi pasti, mereka mulai terpengaruh. Satu per satu warga mulai mengangguk-angguk menganggap ucapan Subroto masuk akal. Lalu, hanya dengan satu komando, mereka bergegas melaksanakan perintah mengurus jenazah dan mengebumikan sesegera mungkin.

Sebelum warga membubarkan diri, Subroto kembali berpesan, "Saudara-saudara, karena prosesi penguburan jenazah sudah selesai, maka mari kita tutup mulut kita. Ndak perlu membahasnya lagi. Soal mencari siapa pembunuhnya, percayakan sama saya. Biar saya yang urus. Yang penting, Saudara-Saudara tutup mulut saja. Jangan sampai berita ini sampai ke telinga orang luar. Bisa malu! Ini aib desa! Mengerti, Saudara-Saudara?"

"Mengerti!" jawab warga desa serentak.

Benar saja, setelah kejadian itu, tak ada lagi orang yang mengungkit dan membicarakan tentang pembunuhan Udin. Semua warga Sekarseni kembali beraktivitas seperti sediakala, seperti tak ada kejadian apa pun.

Namun, seseorang yang tengah duduk di balik meja kerja, masih memikirkan tentang kasus kematian Udin yang aneh dan beberapa rentetan kejadian janggal lainnya. Ia masih termenung ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu ruang kerjanya.

Susi, salah seorang pegawai puskesmas, menyembul dari balik pintu.

"Sudah sore, Dok. Sudah waktunya pulang." Susi mengingatkan Fachry yang belum terbiasa dengan jadwal di puskesmas desa Sekarseni.

"Oh, iya, Bu. Terima kasih sudah mengingatkan," jawab Fachry diakhiri dengan senyuman.

Susi sepertinya salah mengartikan senyum itu. Ia yang tadinya hanya berdiri di ambang pintu, kemudian masuk lalu duduk di seberang meja. Fachry mengernyitkan dahi.

"Dokter ... ini kan sudah di luar jam kerja. Jadi jangan panggil saya ibu, dong, Dok. Saya masih muda, masih single lagi. Panggil Mbak atau Susi saja," ucap wanita berusia tiga puluh tahun itu dengan malu-malu.

"Baiklah, Mbak," jawab Fachry datar.

"Hihihi ... Dokter habis ini mau kemana? Ada acara ndak?" tanya Susi lagi.

Dengan cepat Fachry menjawab, "Saya mau mampir ke rumah Fitri, mau cek kondisinya. Kenapa? Mbak Susi mau ikut?"

Raut kecewa tergambar di wajah wanita berlipstik merah merona tersebut.

"Ndak, Dok. Saya ada acara. Permisi," jawab Susi lalu segera beranjak pergi meninggalkan Fachry yang sepertinya tak ambil pusing dengan tingkah polah wanita itu.
-------------
Fachry benar-benar mampir ke rumah Fitri usai pulang dari puskesmas.

"Eee ... Pak Dokter. Monggo, silahkan masuk," sapa Mukijan yang kebetulan sedang membelah kayu di halaman rumah. Kayu itu akan ia gunakan untuk memasak.

"Gimana keadaan Fitri, Pak?" tanya Fachry tanpa basa-basi.

"Alhamdulillah dia sudah mendingan. Sudah mau keluar kamar, melakukan aktivitas seperti mandi, memasak. Tapi belum mau bicara banyak. Makan juga masih sedikit. Mungkin cuma buat ngeyem-yemi* saya saja," terang Mukijan seraya duduk di kursi samping dokter itu duduk.

Fachry menghela napas. "Syukurlah, Pak. Itu sudah perkembangan bagus. Kalau begitu, bisa saya bertemu sama Fitri?"

"Sebentar, Dok. Saya tak bicara dulu sama Fitri. Semoga dia mau menemui Dokter." Mukijan lalu masuk mencari Fitri yang berada di kamarnya.

Detik demi detik waktu berjalan. Entah kenapa terasa begitu lama bagi Fachry, kini. Berharap gadis penari itu mau menemui. Ada sesuatu yang lain, harap yang berbeda. Tak sekedar menunaikan tugas, tapi juga menjawab semua pertanyaan yang bersarang di hati: ada apa dengan rasa ini?

Degup jantung dokter kota itu menjadi semakin tak beraturan tatkala sosok yang akhir-akhir ini sering muncul di mimpi dan benaknya keluar dari balik pintu yang setengah tertutup. Wajah ayu itu seolah menyihir pemuda bermata sipit tersebut. Meski suasana sepi layaknya kehidupan di desa, tapi terasa bising bagi Fachry, sebab ada genderang tertabuh di dada.

Fachry perlahan bangkit, lalu duduk kembali saat Fitri mempersilahkan dengan suara lirih. Berdehem sedikit untuk mengembalikan fokus pikiran.

"Apa kabar, Mbak? Apa semua baik-baik saja?"

Belum ada jawaban.

Fachry masih menunggu, lalu tanpa disangka, dengan wajah sendu berurai air mata, Fitri berkata, "Tolong saya, Dok ...."

Tbc.

*ngeyem-yemi = menenangkan hati

Madu sang Penari Tradisi (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang