"Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa. Bagiku, kesucian adalah mahkota. Orang yang dengan cara licik dan biadap telah merenggut kesucianku, maka, hanya nyawalah yang pantas untuk membayar!"
-------------Dengan deru napas memburu, kaki sang penari tradisi setengah berlari menembus pekatnya malam. Tak peduli gelap. Abai akan dinginnya udara di kaki gunung. Terus meniti jalan dengan memeluk dendam dan amarah di dalam dada, hingga sampailah ia di suatu tempat di mana seseorang tengah beradu nikmat dengan korban barunya.
"Subroto! Keluar kamu! Dasar bajing*n! Manusia jahanam!"
Pria yang tengah menyesap madu calon penari tradisi yang baru, terperangah mendengar suara yang tak asing itu memaki dirinya. Mendidihlah darah sang Kepala Desa.
Dengan berat hati, Subroto menghentikan kenikmatannya mencumbu Mawarti, si calon penari, kemudian bergegas keluar usai memakai pakaian seadanya.
Betapa terkejut hati Subroto ketika melihat Fitri berdiri tegak di halaman depan kamar 'eksekusi' di rumah singgah samping balai desa. Gadis itu bahkan mengacungkan sebilah parang yang biasa ayahnya gunakan untuk membelah atau memetik kelapa.
"Heh! Berani-beraninya kamu mengganggu acara ritual penting desa ini! Apa kamu ndak takut kena kutukan dari roh para leluhur? Ndak takut kualat? Dasar perempuan tak tahu diuntung!" maki Subroto dengan penuh emosi.
Bukannya takut, Fitri malah berjalan mendekati pria berkepala botak itu dengan sorot mata tajam berapi-api.
Selangkah demi selangkah, semakin dekat.
"Aku ndak takut! Bahkan kalau pun harus mati sekarang juga, aku rela! Lagi pula, buat apa hidup dengan menanggung malu, aku sudah ndak suci lagi! Semua gara-gara kalian! Kalian harus membayarnya dengan nyawa kalian! Dan yang pertama adalah kamu, Subroto!"
Mawarti yang keluar menyusul Subroto menjerit histeris menyaksikan Fitri telah semakin dekat dengan tubuh sang Kades dengan parang yang siap menerkam. Pria itu gemetar ketakutan setengah mati, tak menyangka gadis itu benar-benar nekat akan menghabisinya.
Kebencian telah merasuki hati sang penari tradisi. Membakar jiwa. Membungkam naluri dan akal sehat. Fitri yang semula membunuh seekor semut pun tak mampu, kini bersiap merenggut nyawa pria di hadapannya itu. Tangan mungilnya yang gemetar menggenggam gagang parang, terayun ke atas dan ....
Traang!
Parang itu jatuh tepat di samping tubuh Subroto yang luar biasa ketakutan hingga nyaris tak bisa bernapas.
Seseorang berhasil meraih tubuh Fitri dan melepas parang tepat pada waktunya. Terlambat sedikit saja, nyawa pria tambun itu mungkin saja sudah berpisah dengan raga.
Fitri seketika tergugu dalam pelukan Fachry. Ya! Dokter itu telah menghentikan aksi Fitri yang kalap tak berakal.
Kalau saja Fachry tak terbangun oleh jeritan Mawarti, tentu semua akan terlambat. Entah apa yang akan dilakukan Fitri jika ia tak mampu mencegahnya.
Menit kemudian Mardi datang. Tanpa menunggu perintah, segera mengamankan Subroto dan Mawarti, tak lupa membawa serta parang milik Mukijan. Meninggalkan Fitri yang masih menangis di pelukan sang dokter.
"Menangislah. Lepaskan semua amarah dan kecewamu. Lepaskan semua! Biarkan semua beban di hatimu keluar bersama dengan air mata yang mengalir. Aku akan tetap di sini. Terus menjagamu."
-------------
Matahari telah terbit. Pagi menjelang. Udara dingin khas pedesaan perlahan mulai tersapu diterpa hangat mentari. Sekarseni terlihat lebih indah hari ini. Alam seolah ikut merayakan perubahan di sana.
![](https://img.wattpad.com/cover/195061740-288-k939878.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu sang Penari Tradisi (END)
RomanceFitri Pancawati, gadis berparas ayu itu adalah penari tradisi desa Sekarseni. Demi menjadi seorang penari tradisi, ia harus rela 'madu'-nya dicicipi oleh para sesepuh desa.