"Yang terlihat indah tidak selalu terasa indah. Seperti ucapan yang tidak selaras dengan tindakan."July, 27, 2019
-----
"Satu pasien terakhir dokter Iren," beritahu asistennya ketika Iren baru saja duduk setelah memeriksa seorang pria tua yang terkena gangguan prostat.
Menjadi dokter sebenarnya bukan merupakan keinginan utamanya, itu adalah obsesi ayah Iren sejak dulu. Iren muda yang penurut selalu mengiyakan apapun perintah orang tua, termasuk meneruskan pendidikannya untuk menjadi seorang dokter muda yang hebat. Dikatakan hebat sebenarnya tidak juga, profesi tersebut dia ambil karena Iren merasa dirinya tidak memiliki keahlian lain. Bodoh sih tidak, tapi Irene menilai bahwa dirinya orang yang cukup pemalas.
Ya sudahlah, itu masa lalu dan sekarang Iren merasa harus bertanggungjawab dengan apa yang dia pilih untuk masa depannya. Dia sudah terbiasa melihat berbagai macam penyakit kulit, ataupun berbagai macam bentuk dan ukuran alat kelamin baik pria maupun wanita. Dari yang bersih tidak berbulu sampai yang lebat seperti hutan rimba, dari yang kecil seperti biji kuaci sampai yang besar panjang seperti tongkat pemukul bola kasti.
Dulu, Iren lebih mirip kerangka hidup yang tidak doyan makan selama menjalani pendidikan kedokteran. Mencium bau anyir, seringnya melihat luka berdarah atau nanah membuatnya perlahan kehilangan nafsu makan dan berat badan. Hanya menyesap secangkir kopi atau menggigit sepotong roti saja itu sudah cukup untuknya beraktifitas seharian. Beruntung sekarang Iren sudah terbiasa akan hal itu. Bahkan setelah melihat luka yang benar-benar sudah membusuk saja, dia bisa makan enak setelahnya.
Seorang pria muda masuk sambil mengucapkan selamat sore, lalu duduk dengan sikap canggung ketika matanya bertatapan dengan mata Iren.
Pria itu memakai pakaian casual dengan kemeja hitam bercorak garis lurus dan celana jins biru. Wajahnya tampan, postur tubuhnya tinggi, lengkap dengan rahang wajah yang sempurna. Kemudian sambil mendengarkan pria itu berkeluh kesah mengenai kondisinya dan bercerita tentang aktifitasnya selama menjalani wajib militer, bola mata Iren bergulir pada jam tangan Rolex milik pria itu yang menurutnya sangat keren.
Iren tidak seharusnya memikirkan hal-hal tidak penting lainnya ketika sedang menghadapi pasien. Tapi otaknya selalu bekerja lebih cepat mendeteksi sinyal kuat terhadap benda-benda apa saja yang tergolong mahal. Bukan bermaksud mengagumi atau bagaimana, hanya kadang dia merasa aneh setelah mengetahui jika ternyata tujuh puluh persen pasien yang datang padanya dan mengeluh soal penyakit kelamin adalah orang-orang yang memiliki kemampuan finasial di atas rata-rata. Sementara orang-orang dari kalangan menengah ke bawah hingga yang tubuhnya berbau matahari justru cukup dengan keluhan mereka mengenai kulit tubuh yang gatal-gatal karena terserang jamur ataupun kuman. Jadi menurut Iren, polemik aneh semacam ini sangat tidak masuk akal dan terkadang membuatnya harus berpikir keras.
"Berapa hari kau mengalami hal semacam ini?" tanya Iren selesai pria itu memberitahu jika miliknya akhir-akhir ini tidak bisa menegang.
"Dua minggu setelah aku pulang wamil."
"Pagi hari ketika kau bangun tidur, apa kau juga tidak mengalami hal itu sama sekali?"
Dia menggeleng lemah, kemudian mengedikan bahunya kecil.
Hal pertama yang Iren lakukan adalah meminta pria tersebut untuk berbaring dan membuka kancing celananya. Baru setelah Irene memakai sarung tangan, dia berdiri mendekati pria itu untuk melakukan test perikokle.
KAMU SEDANG MEMBACA
DONNA (21+) Hunrene, Kaistal, Chanrose
Romansa"Wanita bukanlah pakaian yang bisa kau pakai dan kau lepas semaumu. Mereka terhormat dan memiliki haknya. Kalau kau datang hanya untuk menyakitinnya, kemari kau, hadapi aku sekarang juga!" Sean berdiri tepat membelakangi Iren dengan bola mata yang...