.
'Sakit hati tidak punya obat. Jujur saja, obat sakit hati itu cuma satu, diri sendiri'
Saat ini, hanya kalimat dari Soobin yang ia ingat selama perjalanan pulang dari kampus menuju mansion milik ayahnya.
Haechan hanya ingat kalimat itu, disekian banyak kalimat dari pembicaraan Soobin sore itu ketika mereka memutuskan untuk makan di Mcd selagi Haechan menunggu jeputan.Bisa dibilang, ini patah hati pertama Haechan. Ia tak tau sesakit ini rasanya, menunggu janji bertahun lamanya. Namun ia bisa apa? yang lama akan kalah dengan yang baru dan selalu berada di jangkauan.
Haechan menghela nafas lelah, membuka pintu jati depan rumahnya disambut senyum tipis sang ayah. Sedang mengopi sembari ongkang-ongkang kaki seperti kebanyakan ayah-ayah yang lain.
"Gimana hari ini?" tanya ayahnya perhatian, Haechan yang ingin melipir pergi hanya berhenti sejenak dan melirih.
Bagus, tak masalah. Semua terkendali. Itu yang ia katakan dengan mulutnya, berbeda dengan apa yang dikatakan hatinya. Ia hancur.
"Mau ikut ayah? ke acara pertunangan kak Mark?" Haechan berhenti di tangga kelima, mematung seketika. Wah, takdirnya, kenapa membuat Haechan makin tergerus rasa sakit yang tak terkira?
Haechan memandang ayahnya, seorang figur kebapakan yang selalu ia puja dalam doa di setiap minggu pagi. Sendu, melihat si ayah yang masih menantikan jawabannya. Ia ingin menjerit sekerasnya.
"Ayah, aku tak ingin mempermalukan ayah. Aku tak ikut, aku takut ayah kupermalukan disana. Aku... tak ingin menghancurkan pesta pertunangan itu" -lalu bergegas ke lantai dua, menutup kuat pintu kayu jati dikamarnya. Meredam tangis yang menjadi.
Kenapa terlampau sakit hatinya?
__________________
Alarm pagi, menyambut mentari. Namun Haechan memilih menggulung dirinya dalam selimut tebal. Menutupi wajah dan matanya yang membengkak. Ia menangis, semalaman. Memikirkan takdir selanjutnya. Sembari memandangi barcelet, hadiah pertunanga dirinya dan kak Mark. Disaat ia masih piyik.
Air matanya kembali luruh. Menangis lagi.
Haechan tak lagi punya semangat untuk bangun pagi ini. Menjalani hari ketika ia tau, dunia sesulit dan semenyebalkan ini. Ia memilih kabur, menyembunyikan diri dari mentari.
"Haechan, nak..." Ketukan di pintu berbarengan dengan suara sang ayah, ia abaikan begitu saja. Ia tak ingin di ganggu saat ini. Namun sepertinya si ayah tak mengerti, "Soobin mencarimu nak. Ayah tinggalkan dia disini ya"
Sang ayah pergi, menyisakan si tiang listrik berjalan yang seenak jidat memasuki kamarnya yang sudah dibuka. Berjalan menuju ranjangnya dan duduk tanpa disuruh.
"Yo!"sapanya pelan, hanya dihadiahkan dengus dari Haechan. Mengertilah, ia tidak ingin diganggu hari ini. "Ayah Johnny menelepon, katanya kau tak mau masuk kuliah. Kutebak, patah hati ya?"
Haechan tak menjawab, malah makin menarik selimutnya hingga menutupi kepala. Membiarkan Soobin yang kini sibuk dengan ponselnya. Mengirim pesan untuk seseorang, Haechan rasa.
"Kau harus mengobrol sebenarnya dengan sang sumber masalah. Kau harus jujur akan perasaanmu. Lihat? katanya dia akan menemui sore ini."
Soobin berbicara dengan santai, membuat Haechan bangkit dari tidurnya. Menatap manusia yang tingginya tidak manusiawi itu dengan tajam.
"BAGAIMANA BISA KAU BAWA SINGA KEMARI?!! CHOI SOOBIN SIALAN!"
well, memang seharusnya mereka harus bicara kan?
_______________
Maaf aghu lambat mempost chap ini ಢ‸ಢ
KAMU SEDANG MEMBACA
20th || Markchan✅✅
Fanfic[Trilogi Kedua] Siapa sangka, si Baby-Chan kini sudah tumbuh besar. bxb content; hurt-comfort; drama;