Pukul 17.30 Kereta kami telah sampai ke stasiun Lubuklinggau, aku mengajaknya turun dan segera mencari angkutan khusus untuk menuju ke pondok pesantren yang dibangun oleh adik-adikku itu dari jerih payahnya, pondok itu memang belum terlalu terkenal karena bangunan dan santrinya masih dalam Golongan kata Sedikit, dan pembangunannya pun belum berkembang pesat, tapi sejujurnya aku bangga dengan adik-adikku, terlebih pada naila, diusianya yang sekarang ia sudah banyak mendidik puluhan anak-anak untuk menghafal Al-Qur’an.
“Assalamu’alaikum,...” Ujarku saat mengetuk pintu berbahan dasar kayu jati itu.
“Wa’alaikumussalam... kakak? Sama siapa? Pasti ini calon kakak iparku kan? Ayo kakak ipar kita masuk...” adik perempuanku itu malah mengajak wanita itu masuk, tanpa mempedulikanku yang masih berdiri didepan pintu, dan wanita itu ekspresinya terlihat bingung sekali.
“Heyy Naila, siapa yang kau bilang kakak ipar? Dia bukan kakak iparmu.!”
“Apa? Oh kakak, maafkan aku, aku ceroboh...” ujarnya malu
“Tidak apa-apa, aku Shalima... mas Eufraj yang membawaku kesini untuk bermalam beberapa hari, apa boleh?”
“kenapa tidak? Tempat ini terbuka untuk siapa saja, aku naila....”
Lihatlah, mereka sudah mulai akrab, dengan begitu sepertinya aku sudah bisa meninggalkannya.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam, Syafiq, bagaimana kabarmu?” syafiq adalah adik sulungku sebelum naila.
“Baik, kakak ngapain disini?”
“Abang syafiq koq ngomongnya gitu sich, abang syafiq mulai sekarang tinggal sama santri abang yaa, soalnya dirumah kita lagi ada tamu,...”
“kenapa gak suruh dia aja yang dikamar santri?”
“Syafiq!!!” aku benar-benar tak tau bagaimana menghadapi adikku yang satu ini.
“Apaan sih kak? Bentak-bentak, bukan hutan kali!” jawabnya enteng
“Sya..”
“Mas, aku tidak masalah tinggal dimanapun, dan kalaupun harus tidur sama santri aku nggak papa..”- Shalima
“jangan kak, Santri putri banyak anak yatim yang kurang kasih sayang, mereka akan menjahili siapapun yang belum mereka kenal,..”-Naila
“Iya Shalima, kau tidak akan betah bermalam disana...”
“Kalian itu berlebihan, aku nggak apa-apa, beneran...”
“Dengar syafiq,? Egois kamu...!”
Aku segera meninggalkan mereka, aku takut jika terus berada disana emosiku akan pecah menghadapi sikap syafiq, anak itu tidak pernah berubah, dia selalu begitu, keras kepala, egois, dingin dan pemarah. Syafiq bisa luluh dengan mudah oleh naila, naila adalah adik bungsu kesayangan yang selalu membuat kami bangga dengan segudang prestasi-prestasi yang ia miliki. Sebenarnya syafiq adalah anak yang baik, syafiq juga cerdas, saat ia berumur 6 tahun, ia sudah menghatamkan Al-qur’an dan menghafal surat-surat pada juz 30, sikapnya mulai berubah saat ia mulai masuk SMA, awalnya aku berfikir itu suatu dampak dari masa pubertas, akan tetapi ternyata tidak, sikap itu melekat hingga saat ini sampai ia setelah lulus S2 di mesir pun sikapnya tak pernah berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting
SpiritualJika cinta selalu membahagiakan maka takkan ada kisah cinta Syafiq dan Shalima di dunia ini, tapi ada banyak kisah yang serupa. Mencintai tapi kehilangan dan mencintai tapi ditinggalkan, sanggupkah Mereka bangkit?