Author POV
Suasana pagi hari yang menyejukkan diberbagai sudut terlihat anak-anak kecil yang ditangannya menggenggam Al-Qur’an, beberapa kali ayam berkokok menandakan suasana yang begitu erat dengan pedesaan, Pondok pesantren sederhana ini dirintis oleh naila sejak berumur 15 tahun, sejak usia dini naila sudah dikirim ke pondok pesantren ternama yang terletak di jawa timur, disana ia khusus mengambil program tahfidzul Qur’an, memang sudah menjadi cita-cita abah agar salah satu anaknya ada yang menguasai Al-qur’an, tidak di sangka kecintaannya pada Al-Qur’an membuatnya menjadi muslimah tegar yang tak gentar oleh godaan, dengan bantuan kedua kakaknya ia berhasil mendirikan pondok sederhana yang ia beri nama Hubbul Qur’an, meskipun jumlah santrinya masih sedikit, akan tetapi sudah banyak alumni hubbul Qur’an yang menyandang gelar hafidz dan hafidzah, sebuah gelar yang bukan hanya dipakai didunia, melainkan di akhirat juga.
“Abang sebelum berangkat, jangan lupa sarapan, nai udah siapin di meja makan... nai mau ke kelas dulu... Assalamualaikum...”
“Wa’alaikum salam...”
Seperti biasa pemilik jiwa Qur’ani ini melakukan kewajiban terbaiknya, ia mengajar, mendididik, dan mengasuh layaknya guru terhebat, kebanyakan dari santrinya adalah anak-anak yang tidak mampu, anak yatim, anak yang berasal dari keluarga Broken Home, dan anak bermasalah lainnya, naila tidak pernah meminta upah sepeserpun pada apa yang telah ia berikan kepada anak-anak itu, sebab ia yakin, jika upahnya ia minta didunia maka di akhirat kelak ia tidak mendapat upah dari sang Maha Rahman, semua yang ia lakukan mutlaq Lillahi Ta’ala.
Sementara Shalima bingung harus melakukan apa hari ini, ia belum ingin mengajar dulu, dengan keadaan emosinya yang belum stabil, ia tidak mungkin melampiaskan kepada anak-anak yang tidak berdosa. Ditengah kekalutan hatinya ia memilih untuk keluar dan melihat-lihat dunia yang sedang ia tempati sekarang, tiba-tiba tellponnya berdering.
Aku mencintaimu setulus hatiku
Aku menyayangimu dengan sepenuh jiwaku
“Assalamu’alaikum ma” jawabnya sambil menempatkan diri pada salah satu kursi ruang tamu.
Sementara di ujung sana terdengar suara isak tangis yang begitu familiar.
“Nak, mama rindu, kamu dimana nak? Apa kamu baik-baik saja?”
“shalima sehat ma, shalima sedang di tempat yang aman dan nyaman buat shalima, mama sama papa sehat?”
“Sehat nak, mama khawatir, beberapa hari ini tidak bisa tidur kepikiran kamu nak, kapan mau pulang nak..?”
“Shalima belum bisa pulang ma, nanti kalau udah saatnya pasti shalima pulang, lagipula shalima tidak bisa tinggal pada lingkungan yang selalu membuat shalima terluka, shalima minta maaf ma...” isakknya diiringi dengan sebutir bening telah terjatuh dari pemiliknya.
“Halo,... shalima, ini papa, pulanglah nak, mamamu terus memikirkanmu nak, papa tidak sanggup melihatnya nak, ayo pulang nak...”
Ponsel shalima sengaja di matikan, ia menangis tersedu, perasaan hancur menyelimutinya manakala insan terbaik yang merawatnya menangis, ia bahkan tak tega mendengarkan isak tangisnya.
“Ohh.. rupanya kau seorang pengecut...” Suara dingin menginstruksinya.
Dengan cepat ia menghapus airmatanya dan sesegera mungkin ia menetralkan nafasnya, laki-laki itu sudah berdiri gagah dihadapannya.
“Kukira kau sudah berangkat, maaf jika suaraku mengganggu mu...” hanya itu yang mampu terucap dari bibir shalima.
“Dan kukira aku juga sudah salah menilaimu,...”-Syafiq
“Maksudmu?”-Shalima
“Kukira kau orang yang baik, yang sengaja datang untuk membantu adikku, tapi ternyata kau hanya orang yang sedang mencari pelarian, harusnya kakakku tidak membawamu kesini, tapi psikiater, kau tidak pandai menyelesaikan masalahmu sendiri bagaimana akan mendidik.”
Shalima tertunduk, ia meremas sisi jahitan gamisnya sekuat tenaga ia berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh lagi, tapi usaha itu sia-sia. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki ia menatap manik mata lelaki itu. Ada sedikit rasa takut yang menggenangi hatinya, ia ragu apakah harus menjawabi ocehan Syafiq.
“Jangan menatapku seperti itu!” Hardik syafiq kasar.
“Aku mohon jangan usir aku...” setelahnya Shalima tidak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting
EspiritualJika cinta selalu membahagiakan maka takkan ada kisah cinta Syafiq dan Shalima di dunia ini, tapi ada banyak kisah yang serupa. Mencintai tapi kehilangan dan mencintai tapi ditinggalkan, sanggupkah Mereka bangkit?