empat

345 66 12
                                    

Sebuah tatapan sinis, penuh kebencian dan sayup-sayup umpatan mereka layangkan untuk Arjuna. Terutama Melisa, Sera dan Regan. Tiga orang itu tidak henti-hentinya menyalahkan Arjuna.

“Kalo bukan karna ide si Junaidi nggak bakal kita dihukum panas-panasan kaya begini. Sialan emang badan gue keringetan semua!” Melisa mendengus sinis.

“Marah marah mulu lo mak lampir lebay banget baru gini aja ngeluh. Gue nih yang sering dihukum pushup ratusan kali nggak komen.” sahut Aldo sombong.

“Terus gue harus banget apresiasiin kebanggaan lo gitu?” Sera melirik sinis Aldo kemudian membuang muka. Menjadi langganan orang bermasalah tampaknya membuat pemuda bergigi kelinci itu merasa bangga.

“Sewot aja lo, Ser! Nggak diajak ngobrol juga.” Regan ikut-ikutan berkomentar memancing emosi Sera.

“Udah jangan ngomong mulu nanti tenaga kalian makin terkuras. Nggak usah main salah-salahan terus kaya bocah. Inget yang nikmatin main barongsai bukan cuma Juna, tapi kita semua.” Bima mencoba menengahi merasa jengah karna teman-temannya terus beradu mulut dan merengek menyalahkan Arjuna. Walaupun yang disalahkan tidak merasa terganggu sama sekali seakan tuli.

Mereka kini sedang menjalankan hukuman, dijemur di tengah lapangan yang terik dan panas. Saat sedang serius mendalami peran, mereka—lebih tepatnya Arjuna karna hanya dia yang dapat melihat— dikejutkan dengan munculnya pak Danang yang tiba-tiba disusul pak Asep di belakang. Pemuda itu langsung menghentikan kakinya dan mematung kaku menatap kedua guru killer yang melotot tajam sambil berkacak pinggang. Iringan musik dan suara-suara sorakan menghilang senyap. Semuanya kompak menelan saliva dan memilih mengundurkan diri secara mengendap-endap.

Yang tersisa di lapangan selain Arjuna dan para siluman adalah Bima dan masing-masing ketua kelas yang tampak pasrah menerima nasib selanjutnya dengan galon yang masih mereka peluk.

“Heh kok diem sih, Jun! Buruan gerak ini di belakang gue pada rusuh banget anjeng semangatnya tiada tara!” Aldo berteriak menyuruh tiga orang di belakangnya untuk tidak bergerak brutal. Masalahnya sejak tadi badannya terus ditarik tak santai alias kasar ke kanan dan kiri, dia hampir jatuh terkali-kali.

“A–a...”

“Hah? Ngomong apa lu?”

“I–itu ad–ad–ada p–pak—”

“Apaan sih yang jelas dong! Kerasukan ajis gagap lu ya?”

“Brengsek jangan dipotong dulu! Ada pak Danang sama pak Asep yang memblokir jalan kita.” teriak Arjuna sukses membuat yang lain diserang penyakit mendadak.

Jisella kehilangan kesadaran.

Aldo muntaber.

Melisa teriak-teriak minta tolong.

Sera hilang ingatan, hendak pergi mencari jati diri.

Regan kejang-kejang.

Dan setelahnya mereka diberi siraman rohani dan nasihat-nasihat betapa pentingnya memiliki kecerdasan otak agar tidak lagi melakukan hal-hal diluar nalar. Kedua guru itu sepakat menghukum mereka sampai jam olahraga berakhir. Di bawah teriknya matahari dengan wajah penuh keyakinan mereka bersumpah tidak akan lagi bermain dengan Arjuna.

“Jis, panas ih. Rambut gue jadi gatel pasti bau deh.” Melisa merengek pada Jisella yang berdiri di depan. Dia tak berhenti menyuarakan penderitaannya.

“Hm.” Jisella pun hafal Melisa memang paling tidak tahan terkena panas. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkinkan dia mengambil kipas tornado, atau membangun tenda di tengah-tengah?

FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang