delapan

230 44 22
                                    

Jisella kini di bawa ke rooftop oleh Arjuna setelah selesai melewati sesi siraman rohani dari guru BK selama hampir satu jam. Angin yang melintas membuat rambut panjangnya berterbangan kecil. Jisella hanya diam dan tak bersuara saat Arjuna mengobati luka gores yang ada di tubuhnya. Lelaki itu juga tak bicara apa-apa, dan tidak terlihat akan memulai pembicaraan.

“Ssh..” dia meringis pelan ketika luka di pipinya tersentuh. Sial Chika memang kurang ajar! Awas saja semuanya akan dia balas tak kurang sedikitpun.

“Lo mau jadi jagoan, La?”

“Ha?”

“Berantem kaya gini, lo jadi dapet banyak luka terutama di muka lo. Apa gini cara yang lo mau biar kaya pitung?”

“Lah apaan—”

“Jangan gini lagi, La. Lo emang pinter adu jotos sejak kita masih ingusan. Lo juga yang lindungin gue dari Chika waktu itu. Tapi cukup sampe situ, gue nggak mau lo ngelakuin hal yang sama kaya gini lagi. Melindungi gue dengan ngebiarin diri lo terluka.” Arjuna pindah duduk ke samping Jisella setelah selesai mengobati pipi gadis itu.

“Jadi banyak koreng kan lo, tambah jelek aja kasian.” lanjutnya yang langsung dihadiahi toyoran kepala.

“Dia yang mulai, yaudah gue ladenin.”

“Pasti ada cara lain yang lebih baik, bukan pakai kekerasan.” ujarnya seraya mengusap bekas toyoran gadis itu.

“Terus apa? Lo udah nemu jalan keluarnya?” Arjuna menggeleng membuat Jisella mendengus.

“Otak lo kosong sih, pantes.”

Sebenarnya dia sudah mendapat firasat tidak enak saat Chika mengajak Jisella bicara empat mata. Dia yakin arti kata 'bicara' yang mereka maksud adalah baku hantam. Keduanya memang bukan perempuan biasa. Membayangkan perlakuan yang didapatkan Jisella membuat dadanya memanas tak terima.

“Lagian si medusa kenapa terobsesinya harus sama gue sih! Pusing banget anying diteror sama kuyang. Wah.. gue jadi ngomong kasar gara-gara keseringan bareng lo, La. Tapi mau gimana lagi ya, gue terlalu ganteng sih. Kaum hawa juga nggak akan sanggup nolak pesona gue. Jadi sikap Chika itu termasuk wajar, bener kan, La?” Arjuna menoleh dan menaik-turunkan alisnya.

“Junaidi, kita kan ada di lantai 3. Gedung sekolah juga tinggi banget. Kalo jatoh dari atas sini pasti langsung mati.”

“Ya iyalah, emang kenapa?”

“Ayo bangun, gue mau lempar lo dari sini. Udah muak banget rasanya berbagi udara sama lo.”

“LA SADAR LA!!! GAK GINI CARANYA NANTI KALO GUE MODAR GIMANA?!!” Arjuna teriak panik saat Jisella menarik kerah bajunya dan membawanya ke pinggir.

“Tujuan emang gue itu.”

“JISELLA AMPUN AMPUN!! LAGI PMS LO YA?!”

“JISELLA!”

BRUK

Jisella jatuh terlentang dengan Arjuna yang berada di atasnya setelah pemuda itu meraih tangannya lalu menariknya. Dia cukup terkejut tidak bisa mengendalikan diri, Jisella pikir kepalanya akan terbentur kencang namun salah satu tangan Arjuna memeganginya agar tidak menyentuh tanah. Jarak keduanya cukup dekat, mata Arjuna bahkan hanya beberapa centi di atasnya.

Mereka saling memandangi satu sama lain dengan Arjuna yang tersenyum membuat matanya sipit seperti bulan sabit. Dia memberi sedikit tiupan-tiupan kecil di kedua mata Jisella lalu terkikik pelan. Sedangkan Jisella hanya diam membiarkan Arjuna melakukan apa yang dia suka, seperti menyentuh pipinya dan menekan-nekan pelan dengan jari telunjuk.

FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang