Jisella menyantap sarapannya dengan tatapan kosong. Kepalanya dipenuhi dengan pembicaraan antar dirinya dengan Arjuna kemarin selepas Chika pergi dan menyingkirkan teman-temannya untuk pulang. Kalimat yang terus berulang diotaknya adalah saat Arjuna mengatakan,
“Chika bilang dia kembali dan nggak akan pergi lagi. Dia akan selalu ada di sisi gue seperti dulu.”
Jisella membuang nafas kasar, dia ingat bagaimana tingkah Chika yang begitu posesif saat berada dekat Arjuna. Orang-orang yang berinteraksi terlebih lawan jenis akan mendapat siksaan yang gila. Chika tidak main-main mendalami perannya sebagai iblis yang kejam dan tidak punya hati. Dia memang semenyeramkan itu sejak kecil.
Lalu bagaimana dengan Chika yang sekarang?
Jisella pusing memikirkan cara untuk menyingkirkan monster tompel itu. Dia bisa saja tidak ikut campur jika tindakan Chika tidak membahayakan atau melukai orang lain. Jisella akan diam kalau Chika hanya beradu mulut atau bertengkar seperti perempuan lainnya. Tapi sekali lagi ditegaskan, Chika tidak normal. Dia bisa melakukan apapun tanpa memikirkan resikonya.
Arjuna sendiri tidak bisa diandalkan. Tampangnya boleh disebut-sebut mirip berandalan, tapi hatinya terlalu lembut seperti kapas. Memang dia membenci Chika, tetapi semua usahanya tidak akan membuahkan hasil. Karna Arjuna memandang Chika sebagai perempuan. Dan perempuan tidak boleh dikasari, begitulah slogannya. Memangnya dia pikir hanya gertakkan atau cacian Chika akan berhenti? Bodoh. Jisella saja harus membiarkan tubuhnya dipenuhi luka dulu baru Chika bisa membebaskan Arjuna walaupun hanya sebentar.
Lamunan Jisella buyar ketika Arjuna tiba-tiba muncul membuatnya terperanjat dan menjatuhkan roti yang ada tangannya. Dia melotot ke arah Arjuna namun pemuda itu hanya mengelos tak peduli.
“Salah sendiri malah ngelamun. Udahlah nggak usah lo pikirin masalah Chika, dia urusan gue. Lo nggak perlu ikut campur.”
Arjuna duduk di kursi yang berhadapan dengan Jisella lalu mengambil roti dan mengolesinya dengan selai kacang. Dia tahu sahabatnya itu pasti masih memusingkan kembalinya Chika. Kelihatan sekali sejak dia memberitahu perkataan Chika, gadis itu langsung terdiam dan bergelut dengan pemikirannya sendiri.
Jisella tergelak, “Nggak perlu ikut campur? Lo pikir bisa ngadapin dia sendirian? Kalo emang bisa sejak dulu gue nggak akan turun tangan. Dia cewek jadi jadian kalo lo lupa, otaknya bener-bener sinting! Lo nggak bisa ngadapin dia sebagai perempuan biasa. Sedangkan lo paling gak bisa kasar sama cewek. Masih inget kan dia pernah hampir merenggut nyawa orang hanya karna orang itu minta diajarin gambar helikopter sama lo? Nabila masih cacat sampe sekarang!”
Arjuna memejamkan mata begitu mendengar akhir kalimat dari perkataan Jisella. Perasaan bersalah itu kembali muncul ke permukaan meskipun sudah berlalu lama. Kalau saja saat itu dia menolak mengajari Nabila menggambar, gadis itu pasti masih bisa berjalan sampai sekarang. Tidak harus menderita sendirian dan meratapi nasibnya. Walaupun Nabila dan keluarganya tidak sama sekali menyalahkan Arjuna, dia tetap menganggap ini semua salahnya.
“Ya terus gue harus gimana, Ella?”
Arjuna tampak frustasi, Jisella sendiri belum menemukan jalan keluarnya. Dia yakin, Chika semakin sulit disingkirkan. Anggap saja kebebasannya kemarin karna Chika membiarkannya menghirup udara segar terlebih dahulu sebelum kembali berperang.
“Gue nggak mau ada Nabila kedua, ketiga dan seterusnya. Tapi gue nggak tau cara ngadapin Chika. Gue pengecut ya, La?”
“Iya lo pengecut. Tinggal bunuh aja di tempat terpencil terus buang ke laut. Selesai.”
“Pikiran kamu masih tetep jahat ya, Jisella.”
Arjuna dan Jisella terlonjak kaget langsung menengok ke arah suara. Di sana ada Chika yang tersenyum manis dengan seragam yang membalut tubuhnya. Rambut keritingnya kini tergerai lurus dan rapih dengan pita yang menghiasi sisi sebelah kanan. Chika berjalan mendekati meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIENDZONE
Fanfiction"....are we stuck with...Friendzone?" •Main Cast• Kim Jisoo : Jisella Dilgyra Kemuning Kim Taehyung : Arjuna Gavriel Manggala