Perjalanan mereka berlanjut dengan Dito yang mengemudi. Sebagai penumpang tidak tahu diri, Kyla ingin terlelap sekali lagi karena matanya masih mengantuk.
Bisa ia rasakan mobil berhenti, saat mata masih terlalu berat untuk dibuka. Namun, agar bisa memastikan alasan mengapa perjalanan usai, Kyla memaksakan diri untuk membuka bangun.
Alena mengguncang tubuhnya, Kyla segera tersadar.
“Udah sampai,” ucap Alena.
Kyla lupa soal perempuan itu yang sejak mulai perjalanan sudah terus merepotkannya. Sekarang, Alena terlihat baik-baik saja. Mabuk darat yang dirasakan sudah hilang setelah mereka mengisi perut tadi.
Kyla segera bangun dan melihat keadaan sekitar. Sebuah bangunan dengan suara berisik dari dalam sudah ada di depan mata. Segera ia beralih ke kursi kemudi, sangking tak bisa mengontrol kegembiraannya—bahwa mereka telah sampai tujuan.
“Kak Aras sama Kak Dito udah keluar duluan.” Alena mengatakan itu, seolah tahu apa yang sedang ia cari.
Jika mereka berdua tidak ada, masih ada Bian yang bisa mendengarkan ini.
“Bian u—” girangnya terputus, Kyla segera melirik Alena.
Astaga! Hampir saja! Seketika ia bungkam. Untung Bian tidak bereaksi. Layar ponsel masih gelap, sejak tadi lelaki itu tidak menampakan wajah.
Harus Kyla akui, Bian cukup paham keadaan. Lelaki itu tidak keluar karena ada Alena bersama mereka.
Ketukkan pada jendela membuatnya tersadar. Aras. Kyla segera keluar dari sana dan menghadap sosok kakak kelas itu. Tanpa bicara apa pun, ia menyerahkan Bian padanya.
Bian pasti akan keluar jika bersama Aras. Kyla sedang dalam posisi tak aman sekarang. Alena bersamanya.
“Ngapain lo kasih gue?” tanya Aras, sambil menggoyang ponsel Bian di depan wajah Kyla.
“Jangan digoyang gitu, gue pusing, Peyang!” kesal Bian tanpa memperlihatkan diri.
“Sengaja.” Aras mengaku. “Lo bawa sendiri, kita masuk ke pabrik sekarang.” Menyodorkan ponsel itu lagi pada Kyla.
“Kyla!” panggil Alena.
Kyla menunjuk asal panggilan itu sebagai jawab, mengapa ia memberikan Bian pada Aras. Alena. Lelaki itu melirik ke arah si Bawel yang sedang asyik mengambil gambar.
“Maaf, gue nggak aman sekarang.” Sambil menyatukan dua telapak tangannya.
Aras mengangguk seolah paham. Ya, seharusnya lelaki itu memahami ini.
“Potoin, dong!” pinta Alena lebih pada pemaksaan.
Kyla memperbaiki tali tas, siap untuk direpoti oleh penggemar berat Dito ini.
Alena memberikan ponselnya pada Kyla. Kyla turuti saja apa mau perempuan itu, selagi tidak meminta untuk bunuh diri bersama.
“Sekali lagi,” pinta Alena.
“Udah,” kesalnya, lalu mengembalikan ponsel itu pada si tuan.
Selesai sudah acara mengambil gambar. Lima kali jepret itu sudah cukup bagi Kyla. Pikirannya sekarang sedang terfokus pada keadaan dua kakak kelas dan Bian. Apa yang sedang mereka lakukan?
“Kak Dito sama Kak Aras ke mana, Ky?” Alena bertanya sambil menatap gawai.
“Nggak tahu,” sungutnya.
“Lo kenapa, sih? Dari tadi suntuk banget. Kayak gue, dong, ceria setiap saat.”
“Setia, woi,” semprotnya, “Rexona lo?”
Alena hanya tertawa. “Setianya sama ketek, doang.”
Kyla tak menggubris, perhatiannya tertuju pada Aras yang baru saja keluar dari gedung. Lelaki itu sedang berbincang dengan Bian.
Segera ia lirik Alena, saat melihat perempuan itu masih sibuk berfoto, langkah segera ia ayun ke arah dua lelaki tersebut.
Kehadiran Alena sangat mengganggu. Kyla tidak bisa bergerak bebas. Sedari tadi kerjaannya hanya meladeni perempuan itu, sedang rasa khawatir—bahwa mereka tak akan mendapatkan satu password terus menyelimuti. Pikirannya terbagi dua karena Alena.
“Kak,” panggilnya.
Aras menoleh. Bian segera mematikan layar ponsel.
“Gue nggak bareng Alena,” kata Kyla hanya untuk memberitahu pada Bian. “Dapat nggak?” Beralih pada Aras.
“Baru satu.” Aras menjawab.
Senyum di bibir merekah. Kyla melompat sangking girangnya. Tidak sia-sia perjalanan panjang ini, yang membuatnya menanggung dosa besar—karena berbohong pada mama dan papa.
“Tinggal delapan, Kak!” girang Kyla.
“Iya, nggak usah teriak juga.” Aras menutup telinga kiri yang berhasil diteriaki oleh Kyla.
Ia beralih pada makhluk halus dalam ponsel. “Bian, seneng, dong!”
“Gue senangnya udah dari tadi.” kata Bian, lagi-lagi tanpa menampakkan diri.
“Lo sembunyi mulu, deh.” Kyla merampasnya dari tangan Aras. “Mana, gue liat muka lo seneng,” paksa Kyla.
Aras terkekeh. “Jelek, sumpah, lo bakal nyesel.”
“Paan, sih, gue ganteng gini.” Bian membela diri.
“Idih,” balas Aras, “gantengan juga bokap gue.”
Bian berdecak. “Kalau bokapnya cakep, kenapa anaknya jelek?”
“Stop!” Kyla menghentikan perdebatan mereka berdua.
Ini bukan waktunya untuk saling meledek. Harusnya, Aras kembali masuk ke pabrik, siapa tahu bisa menemukan satu password lagi.
“Teman lo.” Aras menunjuk dengan dagu.
Kyla segera menoleh. Matanya seketika membulat sempurna, tatkala melihat kelakuan Alena yang mengajak Dito foto bersama. Astaga, perempuan itu kembali aktif, setelah serangan mabuk darat usai. Memalukan.
Aras berdecak takjub. “Dia ajaib banget, sumpah.”
Mungkin saja, misi kali ini akan sedikit berwarna karena Alena. Sejak tadi, hanya perempuan itu yang bisa memecahkan suasana. Mulai dari mabuk darat, sampai menyeret Dito untuk foto bersama.
“Woi, gabung, sini!” teriak Alena pada Kyla dan Aras.
_______
KAMU SEDANG MEMBACA
Ponse(L)ove : Transmigration
Science-FictionPonsel bagi sebagian orang adalah benda yang paling dibutuhkan. Lalu, bagaimana jika benda tersebut ditinggali oleh roh dari korban kecelakaan yang sedang koma? Kyla merasa dunia sedang mengalami keanehan karena ia menemukan ponsel ajaib di mana ada...