Hari pertama pencarian, ketiga remaja yaitu Kyla, Dito, dan Aras kini tengah mencari lewat sosial media. Mereka kini tengah duduk di bangku taman dekat komplek rumah Kyla.
"Nih, dapet satu." Kyla dan Aras seketika menoleh ke asal suara.
Dito terlihat serius menatap layar HP sendiri. "Nih, 1234—heh! gitu doang?"
Kyla seketika menghambur tawa. Itu terasa lucu baginya.
"Dito ... Dito." Aras menggelengkan kepala.
"Yee ... mendingan gue dapet, dari pada lo," balas Dito.
Yah, bisa dibilang Aras paling payah dalam hal seperti ini. Sejak pagi mereka duduk di sini, hingga saat matahari akan menggelincir, lelaki itu belum juga dapat satu pun, sama seperti Kyla.
Kebanyakan dari para target menggunakan kunci layar dengan pola daripada angka. Kyla mendengkus. Harusnya, Bian menggunakan pola saja untuk merahasiakan isi HP. Bukan hanya Kyla, dua kakak kelasnya juga mempermasalahkan ini.
"Udah kebuka 10%," kata Bian, mereka menoleh ke arah sosok yang ada di atas tas Kyla itu, "Hm, kaki gue rasanya ringan."
"Serius?" pekik mereka bersamaan.
Bian mengangguk mantap. Mata Kyla berbinar sempurna. Tinggal 90% lagi dan Kyla akan bebas dari Bian yang menyebalkan.
Sesaat Kyla mengucap syukur kepada Tuhan, mengapa tidak dari awal mereka dipertemukan dengan ayah dari Dito?
Kyla kembali memainkan jari di atas layar ponselnya, semangat kini telah membara di hati. Karena Bian, Kyla dan dua kakak kelas ini harus membuat akun Facebook baru, demi bisa mendapatkan banyak orang dengan tanggal kelahiran sama seperti Bian.
Dering ponsel berbunyi, mereka menoleh ke asal suara. Itu milik Aras.
"Halo," sapa lelaki itu pada lawan bicara, lalu tersenyum tipis.
Saat Aras menjauhkan gawai dari telinga, Kyla segera berpura-pura menatap layar ponselnya lagi.
"Ada kabar baik." Kyla kembali mengarah pada Aras. "Kaki Bian udah gerak."
"Serius?" Keterkejutan kedua kalinya dari Kyla dan Dito.
"Itu telepon dari siapa?" tanya Bian.
"Dari bodyguard bokap lo, yang udah gue bayar biar ngasih kabar," kata Aras.
Bian tersenyum cerah. "Ternyata bawahan bokap gue ada yang bisa disogok." Seharusnya lelaki itu senang, cara ini bisa membuat mereka mendapat kabar dengan cepat. "Yaps! Nggak apa-apa, ayo, semangat lagi!"
Berterima kasihlah pada Dito yang berhasil mendapatkan satu sandi. Ya, itu menjadi sumber gairah mereka agar bisa lebih semangat lahi untuk mengeluarkan Bian dari sana.
"Udah sore, kita lanjutin di rumah masing-masing." Aras menyarankan.
Kyla mengangguk setuju. Bisa bahaya jika lebih lama lagi di sini, apalagi kalau orang tua Kyla melihat pertemuan ini. Dipergoki bersama dua orang lelaki, itu sangat bahaya.
Dito lebih dulu bangkit. Lelaki itu merenggangkan otot-ototnya yang butuh tarikan, karena seharian ini mereka habiskan dengan duduk di bangku taman.
"Yuk," ajak Dito pada Aras.
"Antar Kyla dulu," balas lelaki itu.
"Oh, iya."
"Nggak usah, Kak." Kyla segera menolak.
"Jangan, papanya Kyla galak." Bian ikut bersuara.
Kyla berdecak pada ponsel yang kini ia genggam. Bian berucap asal. Papanya memang galak, tetapi cukup tahu saja, tak perlu dikatakan.
"Gue duluan, Kak," pamitnya segera, sebelum Bian mengoceh lagi.
"Ya udah, bye, Kyla." Dito melambaikan tangan.
"Iya."
Kyla berbalik meninggalkan mereka. Hari sudah hampir gelap, mamanya pasti mencari. Wanita itu pasti akan curiga, tidak biasanya di hari Minggu Kyla seharian berada di luar rumah.
Untuk hari pertama pencarian, mereka baru dapat satu. Itu saja sudah cukup menyombongkan Dito sampai ke langit.
Sebenarnya, Aras juga bisa, tetapi lelaki itu tidak pandai merayu mangsanya. Apalagi, itu para gadis, padahal tampangnya cukup untuk dijual."Oi! Ngelamun aja!" kata Bian padanya.
Kyla tersentak karena suara itu.
Bian tertawa, sedang Kyla sudah kesal mendengar suara tawa itu. Seperti yang Aras katakan, hanya di sini saja mereka bisa melihat Bian tertawa.
Perpisahan kedua orang tua Bian menjadi faktor yang membuat lelaki itu kehilangan semangat hidup. Bian ikut orang tua laki-laki, sedang kakaknya ikut orang tua perempuan—yang juga seorang Artis.
"Gue ngerepotin, ya? Ya udah, deh, entar kalau gue udah balik, gue bakalan ngasih lo hadiah yang banyak,” bujuk Bian.
"Serah lu, dah." Kyla sudah lelah menggubris tiap ucapan Bian.
Kini mereka sudah berada di teras rumah. Melangkah ke dalam, ia berharap Bian tidak mengoceh atau menimbulkan suara sedikit pun, sebelum mereka sampai di kamar.
"Baru pulang kamu," tegur mamanya yang turun dari tangga.
"Eh, Mama." Kyla tersenyum kikuk.
"Sana, mandi."
Hanya anggukan yang bisa ia berikan. Jangan menjawab, itu hanya akan membuat wanita itu menahannya untuk bercerita lebih. Bisa bahaya. Bian tak bisa diajak bersahabat.
Kyla melanjutkan langkah menuju lantai atas.
"Nyarinya susah, ya, Ky," keluh Bian.
"Emang," balasnya saat sudah mencapai pintu kamar.
Setidaknya, mereka sudah berusaha. Dapat satu saja butuh seharian. Menggunakan tiga media sosial sekaligus, itu tidak mudah. Facebook, Twitter, dan Instagram, menjadi tempat mereka mencari mangsa.
Kyla duduk di atas tempat tidur. Melempar Bian asal ke atas kasur, ia kembali sibuk dengan ponsel sendiri. Ada yang harus diselidiki.
Membuka Twitter Dito, di mana lelaki itu mendapatkan mangsanya tadi. Bisa ia lihat percakapan bersama seorang perempuan di sana. Kyla terkekeh, ini lucu.
Kemudian, jarinya beralih pada isi Twitter Aras. Kosong. Tak ada cuitan yang mencari seseorang dengan tanggal lahir sama seperti Bian.
Keningnya mengerut. Aras tak serius. Kyla beralih ke Instagram si kakak kelas itu. Sama saja. Kemudian ia menuju ke Facebook. Dan Kyla mendapatkan sebuah fakta bawah Aras hanya menuliskan pengumuman tersebut di akun sepi ini.
"Lo kenapa?" tanya Bian.
Kyla tak menoleh, masih fokus dengan kenyataan yang ia lihat. "Bian, lo tahu nggak? Kak Aras nggak nge-post apa-apa di Twitter sama Instagram-nya," ucap Kyla kesal.
"Iya, gue tahu." Bian menjawab santai.
Mata Kyla beralih pada lelaki itu. Jelas saja ia akan melotot. "Lo bilang apa?"
"Gue tahu, Ky." Bian menjawab lagi.
"Kok, bisa gitu?" Suara Kyla meninggi.
Bian terlihat santai. "Ya, dia udah minta izin ke gue."
"Terus lo izinin gitu?" Kyla masih belum mengontrol nada bicaranya.
Bian mengangguk tanpa takut, padahal sudah tahu yang dihadapi sekarang adalah Kyla yang sedang beremosi tinggi. Berarti, yang berjuang di sini hanya Kyla dan Dito?
"Lo tuh—"
Pintu kamar terbuka. Kevin ada di sana, lelaki itu menatapnya dengan kening hampir menyatu.
"Kamu ngapain, sih, Dek, teriak-teriak?"
Kyla segera menggeser tubuh untuk menutupi Bian dari pandangan kakaknya itu. Astaga!
***+++***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ponse(L)ove : Transmigration
Fiksi IlmiahPonsel bagi sebagian orang adalah benda yang paling dibutuhkan. Lalu, bagaimana jika benda tersebut ditinggali oleh roh dari korban kecelakaan yang sedang koma? Kyla merasa dunia sedang mengalami keanehan karena ia menemukan ponsel ajaib di mana ada...