Part 23

188 16 0
                                    

Keesokan harinya, Rendi sudah berada di rumah Dita. Dita masih juga belum sadar. Ya, makhluk itu masih membawa Dita ke alamnya. Tak tanggung-tanggung Rendi langsung duduk di lantai yang tak jauh dari tempat Dita berbaring. Rendi menyilakan kedua kaki dan fokus untuk beraga sukma. Sebelum Rendi melaksanakan aksinya, dia meminta Nuri untuk ikut berdoa untuk keselamatan keduanya. Tak butuh waktu lama, Rendi sudah di alam lain. Dia mencari keberadaan Dita. Nihil. Rendi belum menemukan gadis itu. Penampakan-penampakan tak kasat mata mulai terlihat--seperti kuntilanak, pocong dan sebagainya. Rendi tidak merasa takut, dia sudah terbiasa melihat hal-hal seperti itu. Rendi  terus berjalan menelusuri lorong-lorong. Sampai akhirnya, Rendi menemukan Dita tergeletak di bawah pohon. Kondisi Dita sangat memperihatinkan, kaki dan tangannya terbelit tali pohon. Rendi langsung menghampiri gadis itu dan mencoba melepaskan ikata tali itu.
     "Gue akan berusaha selamatin lo, Dit." Rendi terus melepaskan ikatan itu. Kenyataan tak semudah itu, tali itu terlalu kuat. Sesaat kemudian, ada makhluk gaib yang merasuki tubuh Dita mendatangi Rendi.
     "Mau apa manusia?" tanya makhluk itu.

"Mau nyelamatin temen gue!" Rendi masih berusaha melepaskan ikatan itu dari kaki dan tangan Dita.

"Coba saja kalau bisa!" Makhluk itu langsung menyerang Rendi dengan kekuatan yang dimilikinya. Tak mau kalah, Rendi membalas serangan makhluk itu dengan lantunan doa-doa. Makhluk berbadan besar dan berkulit hitam itu lantas kepanasan, dia menutup kedua telinganya dan berkata. "Panas!" Rendi terus membaca ayat-ayat suci Alquran tanpa henti. Karena tak kuat dengan kekuatan doa, makhluk itu menghilang begitu saja. Rendi bernapas lega dan tali yang mengikat Dita sudah terlepas dengan sendirinya. Rendi menuntun Dita menuju lorong portal menuju ke dunianya.

Rendi tersadar dan Nuri yang sedari tadi di sebelah Rendi mengucapkan syukur karena Rendi dan Dita selamat. Dita tersadar dari alam bawah sadarnya dan beranjak turun dari ranjang, lalu memeluk Nuri erat.

"Bu, Dita takut," ucapnya.

Nuri ikut memeluk anaknya erat dan mengusap lembut rambut Dita. "Semua sudah berakhir, Dita."

Rendi tersenyum dan mengintruksikan untuk membakar botol yang pernah dikubur Nuri. Nuri mengangguk dan pergi ke belakang rumah untuk membakar botol itu. Nuri mengambil korek yang ditaruh di atas tumpukan kayu, lalu membakar botol itu di dekat pohon pisang.

"Semoga kamu tidak akan menganggu keluargaku lagi!" Seusai membakar botol itu Nuri kembali ke kamar Dita untuk memastikan Rendi dan Dita baik-baik saja. Nuri bernapas lega karena mereka tidak apa-apa.

"Kamu nggak apa, Dit?"  tanya Rendi.

Dita mengangguk. Badannya terasa masih lemas.

"Aku nggak apa, Ren." Dita kembali berbaring ke tempat tidur.

"Ya udah. Bu, Dit, Rendi pamit pulang dulu." Rendi menjabat tangan Nuri dan melambaikan tangan ke arah Dita. Rendi keluar dari kamar Dita dan berjalan menuju rumahnya.

  Sesampainya di rumah, Rendi melihat kedua orangtuanya sedang duduk di sofa yang berada di ruang tv.

  "Habis dari mana kamu?" tanya Kiko--ayah Rendi.

"Apa peduli ayah?" Rendi menjawab dengan ketus. Dia kesal dengan kedua orangtuanya yang selalu mementingan urusan pekerjaan daripada kebahagiaan anaknya sendiri.

"Lancang kamu!" Kiko melemparkan sebuah tamparan keras pada pipi Rendi, Rendi mengusap tamparan dari Kiko.

"Ayah sama ibu sama aja, selalu mikirin bisnis, nggak pernah memedulikan Rendi!" Setelah berucap Rendi membanting pintu kamarnya. Dia lalu meringkuk di bawah tempat tidur, meratapi nasibnya.

"Kenapa ayah sama ibu selalu bersikap seperti itu?" Rendi mengacak rambutnya, dia sangat frustasi. Rendi bangkit dan mengambil sebuah gelas yang ada di mejanya dan membanting gelas itu.

"Sialan!" umpat Rendi.

Jihan yang mengetahui ada gelas pecah pun mendatangi kamar Rendi. "Kamu kenapa, Nak?" Jihan mengetuk pintu, tetapi tidak dihiraukan oleh Rendi.

"Pergi!" Rendi kembali melempar sebuah vas bunga. Jihan menjauh dari kamar Rendi. Kadang dia juga merasa bersalah karena Jihan tak pernah ada waktu untuk anaknya itu.

"Maafkan ibu, Nak," ucapnya, sambil menangis.
***

Raga Sukma(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang