Part 24

197 13 0
                                    


    Rendi terbangun dari tidur malamnya. Cowok itu merasakan haus, lalu dia keluar dari kamar dan mengambil segelas air di dapur. Suara-suara makhluk gaib kembali terdengar ke telinga, tetapi Rendi memilih mengabaikan selama makhluk tersebut tidak menganggu dirinya. Rendi salah.

  Makhluk itu menyerang Rendi, membuat Rendi terkapar di depan kulkas dan tak sadarkan diri.  Setengah jam berlalu, Rendi belum juga sadar. Jihan yang tak sengaja bangun kaget melihat anaknya tebaring lemah. Jihan berteriak memanggil suaminya.

  "Mas, Rendi!" Jihan berteriak kencang membuat Kiko terbangun. Kiko langsung bangun dan menuju ke arah suara.

  "Rendi kenapa?" tanya Kiko.

"Nggak tahu, Mas. Dia nggak mau bangun-bangun." Jihan panik melihat kondisi anak semata wayangnya. Kiko segera membopong Rendi ke kamarnya. Jihan terus menggoyang-goyangkan tubuh Rendi, tetapi tak ada respons dari Rendi.

  "Mas, ayo bawa Rendi ke rumah sakit. Aku khawatir sama keadaaannya, Mas," rengek Jihan.

Tanpa mengucap sepatah apa pun, Kiko langsung  membawa Rendi masuk ke dalam mobil dan membawa Rendi ke rumah sakit terdekat.
   
   Sesampainya di sana, Rendi langsung dibawa ke UGD. Jihan dan Kiko menunggu di depan pintu untuk menunggu informasi dari dokter.

   "Mas, aku takut Rendi kenapa-kenapa." Jihan memeluk suaminya, air matanya mulai berjatuhan.

   "Kita pasrahkan semua sama Allah, Ma," kata Kiko.

  Lima belas menit kemudian, dokter yang menangani Rendi keluar dan mengatakan kondisi Rendi.

  "Pak, Bu. Saya aneh dengan kondisi anak kalian. Semua normal, tetapi dia belum sadar dari komanya." Dokter bernama Arsyid menggeleng, dia sendiri bingung karena tak pernah menemukan kondisi yang langka sama seperti yang dialami Rendi.

"Terus nasib anak saya gimana, Dok?" Jihan kini yang berbicara.

"Kita pasangi alat terlebih dahulu, Bu." Setelah berucap Arsyid pergi meninggalkan ruangan UGD.

  "Ini gimana, Pa?" Jihan kembali menangis tersedu-sedu mendengar kondisi anaknya yang entah seperti apa.

"Sabar." Kiko berusaha menenangkan Jihan yang masih khawatir dengan kondisi Rendi. Kiko menuntun Jihan duduk di kursi.

"Sabar gimana? Rendi anak kita satu-satunya!"

"Kita nggak bisa berbuat apa-apa selain berdoa, Ma."

Tak berselang lama, suster keluar dari ruang UGD. Jihan langsung berdiri. "Sus, apa saya boleh melihat kondisi anak saya?"

Suster itu mengangguk. "Silakan."

Jihan segera masuk ke dalam ruang UGD dan melihat kondisi anaknya terbaring lemah dan masih belum sadarkan diri.

   "Bangun, Nak," kata Jihan sembari mengusap puncak rambut Rendi. Tak ada respons. Jihan makin tak tega dengan alat-alat yang dipasang pada tubuh Rendi. Tak kuasa melihat keadaaan anaknya, Jihan keluar dari ruangan.

    Jihan menyeka air mata. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Kiko hanya bisa menenangkan istrinya itu dan meminta supaya tetap menerima apa pun keadaan Rendi.

   "Mending kita sholat tahajud." Kiko mengandeng tangan Jihan menuju mushola yang berada di sebelah ruang UGD.

Sesampainya di sana, mereka mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat tahajud. Lima menit setelah selesai sholat, Jihan menadahkan tangan--berdoa demi kesembuhan anaknya itu. Jihan kembali meneteskan air mata. Ada rasa bersalah dalam dirinya karena selama ini dia tak pernah memedulikan nasib Rendi, yang dia utamakan hanya kerja, kerja dan kerja sampai Rendi terbengkalai.

Seusai dari mushola, mereka kembali  ke ruang UGD. Masih menunggu kabar Rendi yang belum sadarkan diri.

***
Dita melangkah ke rumah sakit, menemani ibunya berobat.

"Bu, tunggu sini dulu, ya?" Dita menepuk bahu Nuri dan Nuri menganggukan kepala.

Dita berjalan menuju kasir untuk mengambil obat. Belum sampai di sana, Dita melihat sosok bayangan Rendi. Dita yang kaget melihat bayangan Rendi pun kembali mengucek dua matanya untuk memastikan apa yang dilihatnya. Dita mendekati ruang UGD. Benar apa yang dilihat Dita. Itu Rendi.

   "Ren, kamu kenapa jadi seperti ini?" tanya Dita. Terlihat bayangan Rendi sangat pucat.

"Aku nggak tahu kenapa jadi seperti ini, Dit," jawab Rendi. "Aku nggak bisa masuk ke dalam tubuhku sendiri. Aku cuma ingat tadi malam aku keluar kamar dan tiba-tiba ada makhluk gaib yang menyerangku. Habis itu aku nggak ingat apa-apa lagi. Pas aku udah bangun, aku udah jadi kayak gini."

"Terus ini gimana, Ren?"

Rendi hanya menggeleng. "Aku nggak tahu, Dit."

Dita bingung sekarang dia harus berbuat apa. Dita takut Rendi tidak bisa kembali ke tubuhnya lagi. Jika iya, tandanya Rendi akan meninggal.

"Sabar, Ren. Pasti kita temukan caranya, kok."  Hanya itu yang bisa diucapakan Dita. Dita sedih melihat keadaan Rendi yang seperti itu. Tapi apa daya, Dita tak bisa berbuat apa-apa.

"Iya, Dit."

Dita melihat Rendi memasuki ruangan UGD dengan menembus pintu. Dita menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tak ada orang. Setelah keadaan dirasa aman, Dita masuk ke ruangan. Dita menuju ke tempat di mana Rendi dirawat. Dita miris melihat keadaan Rendi yang dipasangi alat hampir di seluruh tubuhnya.

  "Lihat aku sekarang, Dit. Lemah," ucap Rendi mulai pasrah. "Kalau misal aku nggak bisa ketolong lagi, bilang ke orangtuaku kalau aku sayang sama mereka."

"Kamu nggak boleh bilang gitu, Ren. Kamu pasti bisa kembali ke tubuh kamu, cuma kita belum menemukan caranya aja. Jangan nyerah gitu!"

"Baiklah, Dit."

Dita keluar dari ruangan dan berjalan menuju kasir. Rendi masih mengikuti dibelakangnya.

"Kamu mau ngapain, Dit?" tanya Rendi.

"Mau nebus obat buat ibuku, Ren."

Sesampainya di sana, Dita menyodorkan resep dan menerima obat itu. Tak sengaja Rendi yang berada di samping Dita mendengar percakapan antara kedua orangtuanya dengan salah satu dokter.

"Jadi kalau anak saya sampai dua minggu, alat itu akan dilepas, Dok?"

"Iya, nggak ada cara lain. Sebab alat itu yang membantu anak itu tetap hidup. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi anak itu tak pernah merespons. Dia tetap koma. Masih belum ada perubahan."

Rendi yang mendengar pernyataan itu bertambah putus asa. Dia juga tidak tahu harus berbuat apa lagi.

"Ren kamu kenapa?" tanya Dita.

Rendi menceritakan apa yang didengarnya. Dita mengambil napas panjang, dia tak tega dengan apa yang diceritakan Rendi baru saja.

"Kamu pasti bisa kembali lagi, Ren," kata Dita. "Manusia bisa berencana, Allah yang menentukan semuanya."

Rendi hanya mengangguk. Perkataan yang diucapkan Dita ada benarnya.

"Aku harus cari cara, Dit!"

Dita tersenyum ke arah Rendi. Dita yakin Rendi bisa melewati semua ini dengan ikhlas dan sabar.
 

Raga Sukma(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang