Aryo Danadyaksa adalah mantan kekasih sekaligus cinta pertama gue. Gue dari kecil hingga SMA tidak pernah merasakan sesuatu yang menimbulkan rasa senang ketika didekati dengan kaum lelaki. Namun ketika gue bertemu Aryo, pria pecicilan yang selalu hormat karena datang telat mampu membuat gue tertarik untuk memandangnya. Yah dari sana awal kisah cinta gue di mulai, cinta abu-abu yang kalau kita ingat bisa membuat kita tertawa atau terluka.
"Astajim, jadi dia jadi nasabah Lo?" Suara terkejut super lebay Fitri terdengar dari sebrang ponsel gue.
Gue berdeham, "Hmm."
"Masih kaya dong dia?" Oke, pertanyaan yang gak bermutu. Dari dulu Aryo udah anak orang kaya, terbukti dari motor yang mampu dibeli oleh kalangan beruang hingga mengajak gue nongkrong di cafe terkenal, inget dulu! Ketika krisis moneter melanda dia tetap menjadi orang kaya.
"Iyalah, sampai dia punya anak tetep kaya." Balas gue yang dijawab WOW oleh Fitri. Bisa gue bayangin sekarang dia berdiri dengan mulut membentuk huruf O seakan takjub dengan apa yang menjadi pertanyaan dia.
"Kalau jadi sama Lo, anak Lo bisa ngalahin Sandra Dewi." Lanjutnya membuat gue memutar mata malas. Fitri jika diajak berbicara uang itu, kayak Lo ngajak dia makan tanpa perlu mikir uang habis atau badan gendut.
"Please, gue gak mikir buat ngalahin Sandra Dewi."
"Tapi gue mikir jadi sahabatnya Sandra Dewi versi Lo." Gue tepuk jidat tanda tak percaya memiliki teman sematre Fitri. Ya Allah, tolong hambamu ini.
"Kebayang kan, kemarin Sandra Dewi aja buka toko emas souvernirnya emas, anaknya belum bisa ngomong hadiahnya helli. Apalagi Lo juragan, bisa mandi madu setiap hari Lo." Cerocosnya lagi yang membuat gue memutar mata malas. Fitri kalau dibiarkan mengkhayal jadinya lupa daratan.
"Lo mau dengerin gue gak sih, gue yang galau eh lo yang menghayal." Gerutu gue. Gini nih, kalau gak ketemu langsung dan hanya terhubung via telepon si Fitri bakal ngalor ngidul ngomongnya.
"Gue hayalin Lo yang baik-baik, siapa tahu ada malaikat nyatet kan ntar gue ikutan kecatet gara-gara doain Lo." Cerocosnya lagi membuat gue menggigit bantal gemas.
"Terus?"
"Ya biasa aja sih. Siapa tau dia jodoh Lo. Secara udah tua Lo belum nikah-nikah."
"Please, sadar diri juga." Balas gue sebal. Enak aja, dia juga lagi nunggu jodoh malah ceramahin gue.
"Intinya ya Put, kita itu harus terbuka dengan siapapun itu. Karena kita gak tau dia jodoh kita atau bukan. Kalau bukan jodoh ya udah, kalau jodoh ya alhamdulillah. Seperti doa kita setiap hari, berikan petunjuk Ya Allah jika dia memang jodohku dekatkanlah, kalau memang bukan ya tunjukan dimana dia berada agar hambamu ini tak salah orang." Jelas Fitri lagi yang membuat gue terkekeh geli dan membenarkan. Hikmah memiliki teman seperti Fitri ya begini, walaupun agak dagel, tapi banyak benernya.
"Gak bisa milih, Fit? Secara bapak gue gedek sama Aryo dari dulu."
Yah, bapak gue sebel pakek banget sama Aryo dulu. Karena Aryo yang mengajarkan ngapel di malam Minggu hingga pulang jam sepuluh malam. Dan itu membuat bapak gue gak setuju hingga menyuruh gue putus sama Aryo yang gak gue lakuin. Dan yah begitulah cerita kita dulu.
"Ya emang Aryo minta nomor Lo buat ajak Lo kawin? Ih PD banget Lo, mungkin dia hanya say hai aja, kan?"
Gue langsung terdiam, menghela nafas juga. Bukannya ngarep, tapi gimana ya gue terlalu sensitif jika ada pria yang kirim kode sama gue. Dan akhirnya gue PHP sendiri kan.
"Oke, terimakasih atas nasehatnya Ratu." Ujar gue selanjutnya.
"Baiklah kisanak, Lo gak usah galau. Kalau dia berminat sama Lo, tantang aja ngadep bapak Lo. Disitu kita bisa tau, niat dia apaan. Understand juragan?"
"Iya, ratu." Kata gue akhirnya. Tantangan yang kadang buat gue takut sendiri. Kebayang kan, kita nangtang buat ngadep si bapak itu artinya melamar dan itu kadang gak serius dan mereka menganggapnya serius. Yah namanya juga wanita.
"Ya sudah, ratu mau bobok dulu udah jam dua belas malem. Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
Intinya gue gak boleh gr kata Fitri, tapi gue ragu sendiri. Lo bakal tau, wanita usia 30 tahun sendiri dan ketemu mantan itu ada harapan yang tiba-tiba muncul dipermukaan.
Paginya gue berangkat ke kantor dengan menggunakan motor, yah setiap harinya gue naik motor. Wanita mandiri, dengan segala aktivitasnya. Banyak yang bilang, kenapa gak beli mobil secara gaji sudah bisa buat nyicil mobil. Yah karena itu bukan prioritas hidup gue, karena hidup gue bukan untuk memenuhi standar manusia lainnya.
Setengah jam waktu tempuh menuju kantor gue. Lama, tapi lebih cepat dari pada lo naik mobil, dan yah kantor gue udah di depan mata. Gue memarkirkan motor gue dengan aman lalu melepaskan helem yang membungkus gelungan rambut gue.
Kerja di bank, memaksa Lo berpenampilan layak lihat, rapi dan terlihat berkelas. Jadi jangan salahkan jika banyak orang mengatakan jika pegawai bank berkehidupan hedonis, padahal dalam fakta sesungguhnya mereka dipaksa dan akhirnya mengikuti arus hingga menjadi hedonis juga.
Apakah gue mengikuti arus itu? Iya, sedikitnya gue mengikuti dalam hal berdandan yang wajib dilakukan semua pegawai dengan beberapa barang yang setidaknya bisa dikatakan mahal untuk di beli. Hedonis? Tidak juga, karena gue masih bisa membatasi diri. Walaupun jika ada diskon gua bakal ikut antri buat beli itu barang.
"Kalina." Panggilan dan sentuhan yang tiba-tiba membuat gue terkejut seketika.
"Astaga." Gue berbalik dan menemukan pria yang sejak semalam jadi pikiran gue.
Dia tersenyum tipis, "Kaget ya?"
Gue mencabut kunci motor, lalu menatapnya sebal. "Banget, gue kira siapa!"
Aryo tampak salah tingkah, ia menggaruk lehernya. "Maaf, deh." Katanya.
Gue mengangguk saja, lalu melihat penampilan dia yang masih rapi dengan setelan mahalnya dan sudah nangkring di kantor gue.
"Ada apa?" Tanya gue langsung. Malas basa-basi, karena ini masih di lingkungan kantor yang gue takutkan terlihat banyak orang. Udah gue bilang kan, gue males terlihat memiliki hubungan dengan nasabah.
"Nanti bisa makan siang dengan gue?" Tanya Aryo pada gue yang mengernyitkan dahi.
"Ada urusan apa?" Tanya gue balik.
Gue menatap Aryo, mencerna apa yang ia mau dari gue. Dan sialnya, Aryo juga membalas gue dengan tatapan yang membuat jantung gue berdebar dengan sendirinya. Oh tidak, ini bisa bahaya jika rasa puluhan tahun lalu itu kembali lagi.
Melihat gue memutuskan tatapan, Aryo semakin tersenyum. "Gue jemput nanti siang, tunggu gue."
Dan dia pergi begitu saja setelah mengatakan itu tanpa menanti kesediaan gue akan ikut dia apa tidak. Aryo, dia tau apa yang sedang gue pikirkan tadi. Dan gue takut dia kembali lagi seperti dulu, masuk dan meninggalkan gue seperti sekarang.
TBC
fiachea
8 Agustus 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita 30 Tahun (Ebook)
ChickLitMenjadi seorang wanita itu tak mudah, apalagi ketika usiamu bertambah setiap tahunnya tanpa memiliki pasangan yang menjadi patokan hidup berbahagia bermasyarakat. Menikah itu pilihan, dan pilihannya tergantung pada Tuhan. Dan ketika gue merasa dia p...