Dan ternyata, semua hanya mimpi buruk yang gue lalui beberapa Minggu ini. Tidak ada acara lamaran seperti yang sudah direncanakan, tidak ada Aryo yang datang ke rumah dengan keluarganya, tidak ada acara lamaran yang berujung kepernikahan, yah semuanya batal tanpa adanya alasan darinya.
Gue kembali tertawa miris, dia yang mengejar hingga gue kewalahan untuk menolak. Dan dia juga meninggalkan tanpa adanya pemberitahuan. Bangsat kan? Gue gak tau lagi apa yang harus gue keluarkan untuk mencela dirinya. Disaat semuanya sudah siap, hati dan keluarga gue sudah akan menerimanya dengan kegembiraan ternyata dia menghilang tanpa kabar. Tak ada pesan, tak ada pemberitahuan sebelumnya. Keluarga gue malu, dan gue sakit melihat itu.
Hari ini genap satu bulan semuanya berlalu, gue tak mencoba mencari Aryo ataupun bertanya dengan siapapun kenapa dia tak datang di acara lamaran kami. Gue diam saja, karena untuk bersuara menanyakan kemana diapun gue tak sanggup. Tak pernah terpikirkan diusia gue yang segini dewasanya, ternyata masih ada saja orang yang mempermainkan hati dan kehidupan gue. Dan itu semua dilakukan dengan orang yang sama, Aryo.
Benar kata bapak, jika memang dia tidak pernah baik bagimu dulu. Maka akan sama saja sampai kapanpun. Tidak ada orang yang bisa merubah, kecuali Tuhan yang merubahnya. Dan untuk pertama kalinya, malam itu bapak menatap gue dengan tatapan yang membuat hati gue hancur sehancur-hancurnya. Beliau tidak marah ataupun berkata untuk menenangkan gue, tapi pelukannya mengisyaratkan bahwa beliau kecewa sudah memberikan ijin pada Aryo untuk melamar gue sebagai istrinya.
"Bu, saya pulang dulu ya." Kata Maria ketika gue termenung menatap layar PC di depan gue. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, dan gue tidak merasakan jika waktu lebih cepat berjalan.
"Oke, hati-hati di jalan ya." Kata gue, dan Maria kembali undur diri meninggalkan gue ya g kembali menghela nafas panjang.
Gue mematikan layar PC, dan mulai membereskan beberapa barang dan gue masukkan kedalam tas. Setelah semuanya beres, barulah gue beranjak untuk pulang. Malam ini gue menolak bapak yang berniat menjemput gue, dan sebagai gantinya gue menggunakan mobilnya untuk pergi ke kantor. Sebetulnya, gue tidak merasakan patah hati yang teramat dalam tentang lamaran yang tak terjadi bulan lalu. Tapi gue hanya merasa sedih ketika orang tua gue yang sudah penuh harapan anaknya akan dipersunting orang, ternyata urung dilaksanakan.
Tidak begitu lama gue sudah melihat gapura perumahan orang tua gue terlihat. Gue bunyikan klakson sebagai sapaan pada satpam yang membukakan palang pintu untuk gue. Dan disana, rumah yang gue tinggali sedari lahir berdiri kokoh menyambut rasa lelah yang gue alami hari ini.
Gue turun dari mobil untuk membuka pagar, dan ternyata bapak lebih dulu mendahului. "Biar bapak aja yang masukin."
"Eh, biar putri aja pak yang masukin tanggung." Ujar gue menolak. Namun lagi-lagi bapak menggeleng dan berjalan menuju gue yang masih berdiri di depan pintu.
"Udah sana masuk." Kata bapak, dan akhirnya gue mengalah dan mengambil tas gue.
"Assalamualaikum," gue mengucapkan salam ketika memasuki rumah. Dan ternyata disana ada cucu ibu dan bapak yang sedang duduk di depan telivisi. Iya, cucu dari tetangga sebelah yang keseringan main kerumah dan akhirnya dijadikan cucu dadakan oleh bapak dan ibu.
"Walaikum salam, eh Anty udah pulang." Kata ibu menjawab salam gue.
"Eh ada siapa ini." Kata gue menyalami ibu, lalu duduk disebelah Bima bocah kecil yang berusia tiga tahun. Bima melihat gue sekilas ketika gue menyodorkan tangan untuk ia cium. Dan gue membalasnya dengan ciuman di pipinya.
"Bobok sini sayang?" Tanya gue mengelus rambutnya, dan bocah itu mengangguk saja tanpa menjawabnya karena matanya tak lepas dari layar tv yang menampilkan kartun anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita 30 Tahun (Ebook)
أدب نسائيMenjadi seorang wanita itu tak mudah, apalagi ketika usiamu bertambah setiap tahunnya tanpa memiliki pasangan yang menjadi patokan hidup berbahagia bermasyarakat. Menikah itu pilihan, dan pilihannya tergantung pada Tuhan. Dan ketika gue merasa dia p...