That Sunday Morning

1.7K 267 55
                                    

Belum jadi tamat karena kupikir nggak adil kalau aku nggak bikin dari sudut pandang Yoona. So, here it is.

***

Chanyeol Bramantya is definitely something else.

Kalau tidak mengenalnya, aku (dan mungkin 260 juta penduduk di negara ini) akan dengan mudah terintimidasi oleh sosoknya. Lihat saja penampilannya. Tubuh tinggi tegap nan atletis. Wajah terpahat sempurna yang selalu terlihat angkuh dan dingin. Juga senyum miring yang lebih sering terlihat meremehkan daripada ramah.

Tidak akan ada yang mengira kalau Chanyeol Bramantya yang itu, yang kabarnya tahun ini digadang-gadang menjadi kandidat terkuat peraih piala citra, akan berjongkok di halaman belakang rumahku sambil memohon-mohon memelas pada anjingnya yang tidak bisa diam sejak tadi.

Wajahnya terlihat lelah dan sedikit frustrasi. "Come on, Ben! Sit!!"

Entah kali keberapa dia memerintahkan Ben yang sedikit pun tidak melirik ke arahnya. Anjing lucu itu masih sibuk berlarian ke segala arah dan menyalak-nyalak antusias.

Aku berjalan mendekat dan meletakkan nampan berisi minuman serta camilan di meja. "Biarin aja. Dia keliatan seneng gitu kok."

Chanyeol mendesah panjang sebelum akhirnya berdiri dan benar-benar menyerah. "He really needs to learn to listen to me," gerutunya sebelum mengambil tempat duduk di sebelahku.

Lalu pandangannya jatuh pada Reo yang kini mendusel-ndusel di pangkuanku. "Dia kalem, ya."

Aku mengusap-usap perut Reo gemas. "Memang. Dia lebih suka nempel ke orang daripada lari-larian."

"Lucky him," gumamnya pelan. Terlalu pelan sampai aku takut aku hanya salah dengar.

"Sori?"

"Ah, nggak. Lucky you. Nggak perlu capek-capek ngejar," tambahnya buru-buru.

"Kalo sama keluarga lo yang lain dia gitu juga?"

"Nggak. Sama nyokap ataupun kakak gue dia nurut banget. Sama gue begitu, petakilan, nggak mau dengerin."

"Diminum dulu," gue mengarahkan tangan ke arah cemilan di meja, memberi gestur padanya untuk menikmatinya.

"Thanks." Dia pun meraih gelas berisi jus jeruk dan meminumnya perlahan. "Ngomong-ngomong, tukang di depan lagi benerin apa?"

Saat itu, Ben tiba-tiba berlari mendekat dan menyalak-nyalak di kaki Chanyeol. Chanyeol langsung meraupnya ke dalam pelukan sebelum memberi Ben cemilan yang ia simpan di kantong bajunya. Aku nggak tahan untuk nggak tersenyum melihat interaksi itu.

"Udah lama gue pengen punya taman di depan. Ini mereka lagi ngerjain."

"Oh, ya?" tanyanya tertarik. Matanya sedikit melebar dan alisnya naik. "Taman apa?"

"Just flowers. Apa aja. Mawar, peony, hydrangea, pokoknya yang bisa tumbuh dan bunganya cantik."

"Biar kayak yang punya rumah maksud lo?"

Oh, iya. Dan satu lagi. Chanyeol benar-benar tidak punya filter dalam mulutnya. Ia akan mengatakan apa saja yang ada di pikirannya secara blak-blakan, tidak peduli efek yang ditimbulkan karenanya.

Jantungku yang berdebar cepat, misalnya.

"Nggak capek lo muji-muji gue mulu?"

"Loh, selama lo pantas untuk dipuji, kenapa nggak?"

Ya karena lama-lama aku bisa luluh dengan mulut manis penuh gombalmu itu, Chanyeol!

"Kayaknya Ben kepanasan tuh." Aku menolak menatap matanya. Jadi yang kulakukan hanya memfokuskan pandangan pada Ben di pelukannya. "Masuk, yuk!"

Closer to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang