satu

53 7 3
                                    

Author's POV

Ngantuk.
Hanya 1 kata itu yang Felicia rasakan pagi ini.
Rasa kantuk sudah menguasai dirinya hingga ingin kembali ke alam mimpi lagi.

Ia mengucak-ngucak matanya lalu menguap.
"Hari ini gue ga sekolah, tap-
HARI INI HARI PERTAMA GUE SEKOLAH DAN GUE BARU BANGUN SEKARANG!" serunya dengan ekspresi panik.

Ia memastikannya dengan membuka handphone miliknya.

13 missed calls from Mommy❤️

"Aduhhh! Mati gueeee!" teriaknya lantang dan histeris.

Dengan bergegas, ia mengambil baju seragam barunya yang bahkan belum tentu cocok dengannya.
Entahlah, dia tak peduli.

Bahkan Felicia tak peduli dengan penampilannya atau apa yang orang lihat darinya.

Apalagi tentang pria.
Sejak kisah cinta terakhirnya, ia memilih untuk berhenti menjalin hubungan dengan lelaki manapun,
karena yang ia ketahui, cinta hanya membuatmu terluka.

Bahagia sementara, terluka selamanya.

Felicia mandi dengan terburu-buru tanpa mengetahui bahwa ia mandi dengan kurang bersih pagi ini.
Lalu ia menyemprotkan sebotol parfum dengan terburu-buru, mengikat dasi, lalu lari masuk dalam mobil.

"Pak, pak! Jalan sekarang ya!" perintahnya sambil merapikan rambut yang belum ia sisir sama sekali.

Pak Ujang yang hanya digaji untuk mengantar anak kesayangan bosnya kemana-mana hanya bisa menurut dan mengantar Felicia sampai ke sekolah dengan buru-buru.

Tak butuh waktu lama hingga mobil alphard miliknya sampai ke sekolah swasta internasional, Sekolah Lentera Bangsa.

Sekolah dengan fasilitas lengkap tersebut memang terkenal di kalangan orang-orang menengah ke atas.

Sekolah itu dibangun oleh seorang investor ternama yang namanya tak asing lagi dimata publik, mungkin itulah sebabnya sekolah tersebut menjadi pilihan orang tua Felicia untuk menempatkan anaknya dalam mencari ilmu.

Felicia melangkahkan kakinya masuk kedalam sekolah lalu mencari namanya di daftar MOS tahun ini.

"Sialan!" umpatnya kesal.
Pasalnya, ia tidak menghadiri MOS kemarin dan ketinggalan banyak hal tentang kelasnya, lingkungan sekolah, dan lain-lain.

Setelah berkutat dengan lembaran nama tersebut dalam waktu yang cukup lama, ia masuk dalam kelasnya sambil berlarian.

Felicia pasrah, tidak memedulikan apa yang orang-orang lihat dari dirinya saat ini.

Bisa jadi, rambutnya sudah teracak-acak, berantakan, atau mungkin seragamnya sudah tak lagi serapi yang ia harapkan.

Wali kelasnya berdehem, mempersilahkan Felicia duduk ditempatnya sendiri.

Felicia bahkan belum mengetahui harus duduk dimana, maka matanya menjelajahi seluruh isi kelas dan menemukan satu meja kosong.

Tepat disamping seorang pria berparas sempurna, dengan mata tajam menatap lurus kedepan, bahkan sama sekali tak melihat ke arahnya.

"Dingin," gumamnya pelan.

Felicia duduk disamping lelaki yang bahkan belum ia ketahui namanya.
"Nama gue Felicia. Kalau elo?" sambut Felicia ceria sambil mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman.

Apa daya, hasilnya nihil.
Pria tersebut sama sekali tidak merespon, bahkan melirik kearahnya pun tidak.

"Lah? Gue ngomong sama tembok apa?" ungkapnya kesal.
Felicia mengeluarkan seluruh buku dari tas yang ia bawa, dan membantingnya keras di meja.

Pria tersebut melirik kearahnya dengan ekor matanya.
"Dylan."

"Apa?!" jawab Felicia, masih dengan nada kesal.
Pria itu memutar bola matanya malas.

"Nama gue Dylan."
Lalu, Dylan kembali menatap lurus ke depan, sama sekali enggan untuk mengajak Felicia berbicara lagi sebagai teman sebangku.

to be continued
• • •

30 Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang