STORY 1B - BRIAN: Sahabat Ghaib Pertama (II)

45 4 3
                                    


Satu tahun lebih setelah pertemuan kami pada hari itu, Brian mulai angkat bicara mengenai keluarganya. Ia benar-benar menunggu hingga semuanya terbongkar. Tentang kemampuanku, tentang fakta bahwa ia adalah makhluk halus, bahkan ia menunggu psikologiku kembali normal pasca semua fakta itu terungkap.

Brian adalah anak tunggal dari keluarga yang cukup terpandang di Mapple Town. Ayahnya adalah seorang kepala pabrik sepatu kulit di abad ke 19 (dia tidak menjelaskan tepatnya pada tahun berapa). Tentu saja, sebagai anak yang diasuh di keluarga kaya, dia mendapat didikan yang cukup ketat dari kedua orang tuanya. Satu-satunya kewajiban yang harus dijalankan oleh Brian adalah belajar, belajar, dan belajar.

Kerap kali dinasehati dengan kalimat 'Kau adalah satu-satu nya penerus keluarga ini, jadi kau harus fokus dengan pelajaran yang diberikan oleh para guru. Jangan mengecewakan kami!' membuat sosok lelaki itu menjadi cukup introvert. Ketika teman-temannya bermain riang di sekolah, dia hanya duduk di bawah pohon rindang sembari membaca buku. Bahkan sepulang sekolah, ia harus menerima pelajaran tambahan dari guru les privat—sejujurnya, aku beruntung karena orang tuaku tidak 'sekejam' itu.

Kematian Brian adalah sesuatu yang disebabkan oleh tangannya sendiri. Bukan bunuh diri, lebih tepatnya karena sebuah kecerobohan.

Hari itu, kedua orang tua Brian pergi menghadiri pesta yang diadakan oleh salah satu koleganya. Karena esok paginya Brian harus menghadapi ujian, ia terpaksa ditinggalkan di rumah. Tepat di malam harinya, terjadi pemadaman listrik di Mapple Town.

Petir mulai berdatangan menyambar setelah penerangan hilang.

Angin kencang menyebabkan bebarapa ranting menjadi patah dan beberapa kali menghantam jendela lantai dua.

Brian takut. Otaknya tak bisa menepis pikiran-pikiran aneh.

Di rumah seluas ini, hanya ada ia dan setitik cahaya lilin. Ia tidak tahu makhluk aneh apa yang tiba-tiba muncul di balik kegelapan itu.

Sudah hampir satu jam, Brian duduk di atas kasur sembari memegangi lilin tanpa melakukan apapun.

Ia bosan. Matanya pun mulai mengantuk.

Ditaruhnya lilin itu di atas meja belajar. Setelah itu, Brian merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Kesunyian mendekapnya, waktu membelainya perlahan.

Semakin detik bertambah, semakin terbebani kelopak mata anak lelaki itu.

Perlahan demi perlahan, jiwanya mulai masuk ke alam mimpi.


*****

—[Mulai dari sini, aku akan menulis sesuai dengan apa yang Brian ceritakan]—

Veysteria (A Ghost Diary)Where stories live. Discover now