Eleven 🍁

376 163 106
                                    

Duduk ditemani secangkir teh manis hangat yang rasa manisnya tidak semanis hubunganku, membuatku tersenyum kecut. Terhitung sebulan lebih kami bersama tapi Rean masih saja sibuk dengan gamenya. Memang, aku tidak pernah protes masalah itu, aku ingin Rean sadar sendiri. Tapi, alih-alih sadar, Rean malah makin menjadi.

Seperti kemarin, aku sengaja mengajaknya bertemu saat pulang kerja. Dia datang ke kosku dan membawakanku martabak cokelat yang membuat berat badanku makin bertambah setiap hari. Aku sengaja memberitahunya kalau temanku-Niawan, mengajakku refresing untuk menghilangkan stress karena banyaknya tugas menumpuk padahal kami sebentar lagi akan ujian.

Kalian tau apa jawabannya? Dia menjawab 'Aku izinin kamu pergi kok. Hati-hati ya, kabarin aku'. Hey ! Laki-laki mana yang mengizinkan pacarnya pergi berdua dengan laki-laki lain? Padahal aku sudah membayangkan Rean akan marah kepadaku, kemudian aku memeluknya dan membujuknya dengan senyuman maut. Tapi, semua hanya ada dalam imajinasiku. Berkat jawabannya itu, aku menarik satu kesimpulan. Rean tidak benar-benar menyukaiku lagi, kurasa memang benar kalau dia hanya ingin balas dendam padaku.

Ponsel yang biasa tidak pernah lepas dari tanganku ini, kini ku tinggalkan begitu saja di dalam kamar. Aku lebih memilih duduk di teras kos sambil memandangi pohon mangga yang tak pernah berbuah ini.

Pikiranku melayang jauh dan lagi-lagi membuatku membandingkan Rean dan Azam. Aku sendiri sebenarnya muak harus mengingat semua perilaku yang diberikan Azam padaku saat kami berpacaran, tapi mau gimana lagi? Sikap yang diberikan Rean tak semanis yang kubutuhkan dan yang kuharapkan.

"Tumben sore-sore begini minum teh?" suara Masya terdengar di sampingku. Aku menoleh dan mendapati perempuan itu duduk di sana.

"Pengen rasain yang manis beneran, soalnya akhir-akhir ini aku dapat janji manis mulu."

"Patah hati kau? Bukannya jomblo, ya, soalnya aku uda nggak pernah liat laki-laki yang kurus tinggi itu lagi," katanya menyebutkan ciri-ciri Azam.

Aku berdiri. "Banyak tanya kau kayak dora. Aku ke dalam, deh," pamitku meninggalkan perempuan kepo itu sendirian..

🍁🍁🍁

Aku membuka pintu begitu mendengar suara ketukan yang bertubi-tubi. Kalau kalian pernah mendengar seorang rentenir mengetuk pintu rumah orang yang didatanginya, maka seperti itulah Ana mengetuk pintu kosku.

"Lah, nangis kau?" tanyanya dengan napas yang masih ngos-ngosan. Aku bisa menebak kalau perempuan ini pasti lari sekencang mungkin karena takut dikejar anjing tetangga sebelah, padahal anjing itu selalu dirantai.

Memang tetangga sebelahku itu memelihara anjing hitam yang galaknya melebihi ibu kosku saat menagih uang bulanan. Biasalah, orang kaya, jadi sengaja menyewa anjing untuk menakut-nakuti maling.

Aku berjalan malas-malasan menuju tempat tidurku dan melihat Ana yang sibuk mengeluarkan beberapa cemilan yang mungkin baru dibelinya tadi. Aku pernah bilang bukan? Kalau Ana sudah ke rumahku, maka kulkasku akan terisi penuh, sepenuh-penuhnya.

Ana mengomel saat melihat sampah berserakan di sekitar tempat tidurku. Ada tissue, bungkus makanan, kaleng minuman, dan baju kotor. Aku tidak perduli sama sekali-melemparkan tissue yang baru saja ku pakai untuk mengeluarkan cairan dari hidungku.

"Jorok banget sih kau," kata Ana lagi. Dari awal dia datang sampai sekarang, mungkin sudah lebih dari sepuluh kali dia mengatakan aku ini perempuan jorok.

"Hapus tuh air mata, uda tuir kau. Masalah ginian doang, masih nangis aja."

Aku memasang wajah kesal menatap perempuan yang mengutip sampah-sampah berserakan itu, seperti dia tak pernah sakit hati aja. Padahal kalau Ana sudah sakit hati, perempuan itu bisa menghabiskan dua gulungan tissue, loh.

COME BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang