Part One

1.7K 461 1.1K
                                    

Empat tahun berpacaran, tidak menghalangiku untuk melupakan Azam dengan cepat. Laki-laki itu dengan mudahnya berpaling dengan perempuan lain dan berkata "kalau aku selingkuh, kenapa rupanya?". Pertanyaan terkonyol yang tidak akan pernah kulupakan.

Terhitung sudah dua minggu setelah kami putus. Ya kami, aku dan dia. Sekarang aku sudah bisa tertawa lepas dan sepuasnya. Aku memegang prinsip, untuk apa menangisi laki-laki kurang ajar seperti itu terlalu lama, menyiksa diri saja.

Tapi jujur, saat aku mengetahui perselingkuhan Azam----mantan pacarku, aku merasa sakit hati dan menangis dua hari dua malam. Bahkan aku rela pergi ke kos Ana----teman dekatku, hanya untuk menangisi kisah cinta yang telah kandas itu. Mau bagaimanapun aku ini perempuan dan aku yang tersakiti, wajar dong kalau aku menangis.

Hubunganku dengannya juga tidak bisa dikatakan sebentar, melainkan sangat lama. Aku juga bingung kenapa bisa bertahan selama itu.

Siang ini, aku berada di kantin bersama Ana, menikmati menu baru dari mbak Ika yaitu pempek. Awalnya aku malas untuk kemari, di sini tidak ada laki-laki tampan satu pun. Tapi Ana si perempuan pecinta makanan itu memaksaku, dengan mata berbinar ia menikmati dua porsi pempek yang ada di depannya. Itu alasan mengapa badan Ana sedikit lebih lebar dari badanku.

"Syn, pempeknya enak loh. Habisin gih, entar kita nambah lagi," kata Ana, kembali perempuan itu melahap makanan di depannya dengan raut wajah bahagia.

Aku mendengus kesal, mood makanku sedang buruk hari ini. Tanggal datang bulanku mulai dekat, biasanya aku tidak berselera makan sama sekali. Terkadang aku juga marah-marah sendiri, menangis tanpa sebab, bahkan aku bisa menangis saat mendengar music Dj. Aku sadari aku sedikit aneh dan gila memang.

Lebih parahnya, saat datang bulang, wajahku terlihat lebih menyeramkan. Jerawat bermunculan di seluruh wajahku. Mulai dari dahi, pipi, bahkan ke dagu. Hal itu semakin membuat mood-ku bertambah jelek.

Kuedarkan pandangan ke sudut kantin, melihat meja-meja yang dipenuhi laki-laki, tapi memang tidak ada yang tampan satu pun. Rumornya, mahasiswa Fakultas Sains sering menongkrong di sini dan rata-rata wajah mereka enak untuk dilihat. Tapi sampai sekarang aku belum menemukan satu wajah pun yang enak untuk dilihat. Apa aku sesial ini sampai tidak bisa bertemu dengan laki-laki tampan?

"Tumben kalian di sini?" tanya Niawan, teman sekelasku di Fakultas Kesehatan. Teman laki-laki yang sangat dekat denganku. Dia satu-satunya laki-laki yang mau mendengarkan bahkan menghiburku saat putus dengan Azam. Niawan memang laki-laki idaman, tapi sayang, ia sudah memiliki pacar yang jauh di sana.

Aku tersenyum kecut, terlalu malas untuk menjawab. Lagian pertanyaannya tidak sepenting itu.

Ana mendongak setelah menghabiskan pempek di piringnya, ia tersenyum bahagia. "Akhirnya kenyang juga," ucapnya kemudian bersendawa. Aku berserta kedua teman lainnya hanya melirik jijik ke arah Ana, tidak ada anggunnya sama sekali.

"Kau nggak makan, Syn? Sayang bener tuh pempek dianggurin," komentar Fadillah—laki-laki yang datang bersama Niawan. Namanya memang sedikit aneh, biasanya perempuan yang menggunakan nama Fadillah. Mungkin saat mengandung, ibunya berharap ia seorang perempuan, makanya diberi nama seperti itu.

"Kau mau? Ambil gih, aku gak mood makan."

"Kenapa?" Bukan Fadil yang bertanya melainkan Niawan yang sudah duduk manis di depanku, "takut gendut?"

"Kagak, aku lagi difase nggak selera makan."

50% bohong dan 50% jujur. Aku memang perempuan yang paling takut akan gendut. Jika berat badanku bertambah, pipiku akan mengembang begitu juga dengan tubuhku, dan dimataku, aku terlihat sangat jelek. Maka dari itu sejak SMA, aku sering menjaga tubuh agar tetap terlihat ideal versiku.

COME BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang