Cerpen:
KEMUNING, Cinta Tanpa Bicara
GEMERCIK SUNGAI
Oleh: Fitria LK
Hari ini kuputuskan untuk membantu Pak Parto bekerja. Sudah sebulan kesehatanku mulai pulih. Risih rasanya diam tanpa berbuat apa-apa. Energiku seakan bangkit ketika melihat pria yang sudah mulai renta masih meretas asa. Asa menjalani hidup sepeninggal istrinya.
Pak Parto menjalani hidup melu miline banyu yaitu mengikuti aliran air yaitu mengikuti apa yang sudah digariskan Allah. Saya ingat filosofi yang dia isyaratkan.
"Ora ana kasekten sing madhani pepesthen awit pepesthen iku wis ora ana sing bisa murungake. Tak ada kesaktian yang menyamai takdir Tuhan, sebab takdir itu tidak ada yang bisa membatalkan. Dia meyakini hidup dan langkah setiap manusia itu sudah ginaris ter garis dalam takdir. Tiada ada yang bisa mengelaknya bahkan merubah takdir." Aku yakini kerinduannya, rasa cintanya dan kesedihannya, dia gantungkan pada Sang Pemilik Kehidupan.
"Nak, tresna itu ada yang punya. Tresna iso muksa tapi tresna Gusti Allah ora bakal sirna. Cinta itu bisa musnah tapi cinta Allah Maha Kuasa tidak akan pernah musnah."
Aku mengingat setiap kisahnya. Pituture seperti Semar. Tokoh punakawan pewayangan. Semar yang jenaka memberikan petuah ampuh tentang kehidupan. Hanya kesatria yang bersifat adi luhur yang bisa menjadi momongannya.
Dalam cerita wayang kulit purwa, Semar digambarkan sebagai pamomong-punakawan Pandawa. Secara lahiriah dia adalah rakyat biasa tapi secara batiniah adalah Dewa-Batara Ismaya. Dia bertugas membimbing dan mengarahkan Pandawa pada kebenaran, kebaikan, keberuntungan, kebijaksanaan, kekuatan dan kejayaannya. Puncaknya adalah membawa Pandawa pada kemenangannya saat terjadi perang baratayuda melawan Kurawa.
Pak Parto yang jenaka membuatku betah jika berbincang-bincang dengannya. Bersamanya aku seakan mengingat kakek yang hampir sama sifat-sifatnya.
"Pak, biar saya saja yang ngarit." Aku mengambil tali untuk membantunya mengikat arit pada boncengan sepeda onthel. Sepeda jaman penjajahan inilah yang berjasa menyusuri jalan setapak untuk mencari seikat besar rumput atau dedaunan liar untuk pakan ternak.
"Sudah. Bapak saja. Nak Arya ngaso biar pulih." Dibawanya botol plastik yang sudah berisi air kendi.
"Pak, tolong beri saya kesempatan untuk membantu. Badan saya sudah benar-benar pulih." Aku memegang kemudi sepeda, berharap Pak Parto mengizinkan.
"Baiklah, kalau memang Nak Arya sudah merasa sehat. Tapi ati-ati lho, Nak." Diberikannya caping miliknya padaku.
"Hati-hati? Memang ada apa Pak?" aku terkaget. Bulu kudukku meremang. Jangan-jangan ada makhluk gaib ganas di desa ini.
"Ati-ati digondol wewe ayu." Pak Parto terkekeh. Melihat wajahku yang mengkeret ketakutan. Sikap jenakanya membuatku senang bersamanya.
"Wah, Bapak ini buat saya kaget saja. Saya kira ada apa. Hehehe." Aku turut terkekeh.
"Nak, awakmu ganteng, gagah, pasuryamu bening, prilakumu andhap asor siapa wanita yang tidak kesemsem denganmu." Puji Pak Parto sembari menepuk bahuku. Aku hanya tersenyum. Pamit mencium punggung tangannya.
Aku menyusuri jalan setapak yang banyak di sekitarnya tanaman perdu. Mencari rumput untuk ternak memang tidak gampang. Ada beberapa tanaman liar yang harus dihindari karena bersifat racun.
Banyak hal yang aku dapat di desa terpencil dan terpelosok ini. Bahkan minim sekali fasilitas. Membuatku kesulitan untuk kembali ke kota, tempat tinggalku.
***
"Lelah juga, ternyata aku tak setangguh mbah Parto. Masih dapat segini sudah berasa capek luar biasa," gumamku.
Kuputuskan menuju sungai. Membasuh peluhku yang sejak tadi aku tahan.
Sepanjang di pinggiran sisi sungai cukup banyak wanita yang sedang mencuci baju. Kulangkahkan kaki dengan keraguan. Canda mereka mengganggu. Ada gelak tawa di antara para wanita itu baik muda atau pun tua.
"Kuwi lho, yang namanya mas Arya," celetuk yang kudengar samar di antar desir gemercik air sungai, saat aku basuh air sungai di wajahku.
"Ya Allah, guantenge. Umpama aku masih gadis, aku guelem punya suami kaya mas itu," ucapan wanita yang masih asyik membilas kain jaritnya.
"Elehh... kalau aku duwe suami kaya dia. Malah ora iso turu."
"Kenapa, Sri?"
"Eman... eman... Tak lihati terus pasuryane sing guanteng koyo raden Arjuna kuwi lhooo... Hehehee." Semua terkekeh memperbincangkan diriku.
Rasanya tak nyaman. Sedikit menggangguku. Namun melihat rimbunan rumput di sekitar sungai membuatku berpikir lagi. Mengambil rerumputan di sini.
"Ning... Ning... byuh... byuh... awakmu kok melamun? Ikut-ikutan liat wong bagus kuwi ya? Hehehehe..."
"Uwis ora usah berharap, Ning. Ngimpi awakmu. Kabarnya itu dokter lho. Belum nikah. Meski awakmu ayu tapi inget, kamu ituuu..."
"Uwis... uwiss... Tum. Ojo ngece. Kasihan Ning. Haruse kita bersyukur. Siapa mau seperti Ning."
Aku mendengar semua perbincangan mereka. Desau angin membawa suara-suaranya hingga berembus di telingaku. Aku menoleh dan melihat. Kemuning yang tertunduk. Sendu memulas wajahnya.
Aku hela napas. Ada apa dengan para wanita itu. Seakan ada dicemooh yang tertahan untuknya? Ada apa dengan dirinya? Wanita yang tiada sempat aku temui di surau waktu itu.
Astaghfirullah... aku begitu lancang melihat para wanita itu. Terutama Kemuning. Ya Anjani Kemuning.
Lebih baik aku selesaikan ini dan bergegas kembali ke pondok mbah Parto. Ada banyak pekerjaan lain setelah ini.
Sudah hampir seperempat jam aku mencari rumput. Mulai menjauh dari wanita yang berceloteh tentangku.
"Alhamdulillah, sebentar lagi selesai," ucapku lirih.
Saat hendak berdiri kakiku terjerat belukar hingga terhempas di tanah basah penuh lumpur. Bajuku kotor.
"Astaghfirullah... kenapa aku begitu ceroboh. Lebih baik aku cuci sekalian baju ini di sungai."
Aku ikat kuat-kuat tumpukan rumput di atas sepeda. Bergegas menuju sungai.
Kubuka pakaian yang melekat di dadaku. Memintasi sisi sungai. Sembari menyegarkan tubuhku.
"Ya Allah... begitu segar Engkau ciptakan air. Hingga mampu tepis lelah dan penatku," gumamku sembari berenang kecil di sungai yang sangat jernih.
Membersihkan noda lumpur yang melekat di bagian punggung baju. Membilasnya dan mengeringkan di batu besar sungai.
Kulanjutkan menikmati segarnya air sungai. Namun, ada yang menyangkut punggungku. Aku ambil. Sebuah baju kebaya ungu yang aku mulai ingat siapa pemiliknya.
Tiba-tiba aku terkesiap. Berdiri sosok wanita yang membuatku tak mampu tidur hampir semalam. Ya, dia Anjani Kemuning.
"Ini... baju kamu?" tanyaku.
Dia mengangguk. Ada senyum kecil yang dia tahan di bibir tipisnya.
Aku berikan baju basah itu padanya. Tanganku tanpa sengaja menyentuh tangannya. Seakan ada desir yang menjamah relung sukma.
"Ning... ayoo cepetan pulang, ibumu cari-cari lho," teriak salah satu wanita yang menenteng tompo berisi baju-baju basah tidak jauh dari kami.
Dia menggulirkan senyumannya padaku. Tanpa berucap seuntai kata pun untukku.
Andai aku punya waktu sekian detik, pasti aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Ah... Arya... Arya... sudahlah, waktu masih belum memberimu ruang untuk berbicara lebih padanya.
Aku masih terpaku melihat langkah kakinya pergi. Langkah anggunnya seakan telah menyusuri jalan hatiku saat ini. Tak sanggup bergeming di antara gemercik sungai.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
CERPEN : KEMUNING, Cinta Tanpa Bicara
RomanceBagian yang mewarnai kisah cinta wanita bisu dengan takdir hidupnya bersama pria yang dia cintai. Pernikahan terpaksa dengan dokter muda yang baik dan tampan. Namun titian cinta tidak mudah mereka lalui. Awal cinta bertepuk sebelah tangan hingga doa...