Cerpen 1: RINAI GERIMIS SENJA

2.4K 89 4
                                    

RINAI GERIMIS SENJA
Oleh: Fitria LK

Gerimis senja menuai aroma tanah basah yang terguyur rinai hujan. Segar saat itu kusandarkan diri di tiang teras rumah dekat pohon trembesi. Dahan pohon yang menyerupai payung sangat pantas disebut pohon hujan. Begitu rindang melindungi gubuk reot di pinggiran desa. Hanya gubuk ini yang sangat memprihatinkan. Hanya naungan pohon trembesi inilah yang terlihat kokoh.

Sudah hampir dua minggu aku belum bisa kembali ke tempat asalku. Kakiku patah, hingga tak mampu keluar dari jurang yang curam. Entah bagaimana aku bisa sampai di sana. Memori perampokan itu masih mengitari pikiranku.

Aku berteriak minta tolong. Namun yang terdengar hanya pantulan suaraku di antara dinding-dinding tebing. Saat aku tersadar, aku tergolek di atas kursi bambu, di tengah gubuk tua.

“Nak, kok ngelamun di sini? Apa mulai membaik kesehatannya?” Tanya pria tua bercelana komprang selutut. Tubuhnya yang sudah mulai sepuh dibalut sebuah kemeja lurik Jawa yang lusuh. Suaranya sayup-sayup terdengar karena derai gerimis menyamarkan suaranya dari balik pintu. Senyumnya merona menghiasai wajah keriputnya.

“Alhamdulillah, Pak.” Kubalikkan tubuhku menghadapnya. Kulihat pria itu membawa secangkir kopi hitam pekat dengan sepiring singkong rebus yang masih mengepulkan asap. Aroma kopi pahit yang khas berteman seiris gula merah di samping lepek. Kopi favorit penduduk desa yang mereka sebut kopi tubruk. Keunikan nama kopi tubruk yang artinya menabrak atau bertemu dengan gula merah yang legit. Tradisi meminumnya pun tak biasa. Mereka menggigit gula dan mengulumnya, lalu menyeruput kopi pahitnya. Terasa sensasi berbeda dalam meminum kopi ini. Rasa pahitnya kopi pudar oleh manis dan legitnya gula merah.

“Kakinya bagaimana, Nak? Wis enakkan?” dipandangnya kaki kiriku yang terbalut sobekan kain jarit yang sudah pudar warnanya.

“Kalau belum juga membaik, nanti bapak balut dengan kulit wit randu untuk mempercepat pemulihannya. Memang mengobati patah kaki tidak mudah Nak. Kudu tlaten.” Wit atau pohon randu adalah pohon kapas yang kulit pohonnya bisa sebagai pengganti gips bagi penduduk yang mengalami patah tulang. Pengobatan ini cukup ampuh karena desa terpencil ini butuh perjalanan cukup jauh untuk sampai klinik kesehatan. Karenanya penduduk lebih mengandalkan ramuan nenek moyang mereka untuk mengobati sakit.

Disodorkannya secangkir kopi lengkap dengan irisan gula merah di atas lepek. Aku menggapainya dan meletakkannya di sampingku. Pandanganku teralih pada pohon-pohon turi yang berjajar di samping gubuk sekitar sepuluh langkah letaknya dari tempatku duduk. Pohon yang tidak terlalu rimbun dedaunannya menggantung di setiap dahannya. Bunga berwarna putih serupa bulan sabit. Orang-orang menamainya turi putih.

Bunga turi yang nikmat dijadikan hidangan masakan. Tak heran perempuan-perempuan desa mencari bunga itu untuk diolahnya. Kulihat Pak Parto masuk ke dalam rumah kembali membawa gelas kopi tubruknya. Dia kembali duduk di lincak. Tempat duduk yang terbuat dari bambu yang cukup panjang dan lebar seluas ukuran ranjang sekitar 200 x 90 centimeter. Lincak ini juga berfungsi juga sebagai tempat tiduran santai melepas lelah atau warga dusun menyebutnya leyeh-leyeh.

Pandangan ini tetap tertuju pada wanita bercaping yang menerobos rinai hujan untuk meraih bunga-bunga turi itu. Wanita desa yang masih asing belum pernah aku temui. Tubuhnya semampai, berkulit kuning langsat terlihat pada betisnya pari meteng yang dililit jarik parang barong. Jarik yang berpola suci menyiratkan raja jaman dahulu memiliki sifat hati-hati dalam menjaga diri. Anggun berbalut kebaya ungu terang yang memberi makna memesona yang memiliki daya tarik misterius. Rambutnya ngandan-andan yang berarti bergelombang seindah bunga bakung membuatku larut dalam kemegahan elok tubuhnya. Ya Allah. Mengapa detak jantung ini berdesir? Melihatnya, rupa ayu bidadari desa. Kembang dusun Kemuning.

CERPEN : KEMUNING, Cinta Tanpa BicaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang