MALL IN LOVE

661 33 0
                                    

MALL IN LOVE
Oleh: Fitria LK

“Mas, aku risih nih, tiap ke mall mesti disamperin cik A Ling?” ucap Citra sambil duduk santai di gazebo sore ini.

“Memang kenapa sih?” tanyaku padanya, menyeruput teh jahe karya istri terkasih.

Kemuning masih ada di dalam rumah mengembalikan nampan dan mushafnya. Citra baru pulang dari mall dan langsung ke rumah. Dia kangen sama Kemuning dan ibu.

“Cik A Ling kan ngefans banget sama Mas. Haduhhh... bener-bener kaya lalat, masa aku mau have fun aja di kintili terus. Dan paling sebelnya dia mau ikut sama aku, katanya kangen pingin ketemu sama Mas,” ujar Citra dengan karakter cerewetnya. Membuatku tersenyum mendengar ekspresinya.

“Kenapa gak bilang langsung sih, kalau masmu ini udah nikah?”

“Hemmm... pinginku, Mas itu ajak mbak Ning ke mall gitu lho. Sekalian pamerin kecantikannya mbak Ning.” Kakinya dia selonjorkan, dengan punggung dia hempaskan perlahan pada tiang gazebo.

“Ada-ada saja kamu, Citra... Citra. Bojo kok dipameri. Hehehee... Istri secantik mbakmu Ning itu enaknya di simpen, diumpetin, takutnya nanti di gondol kalau di pamer-pameri,” jawabku sembari terkekeh. Meletakkan cangkir bercorak Gatotkaca lagi setelah aku menyeruputnya.

“Iya juga ya Mas. Heheheee... siapa juga Mas gak seneng, mbak Ning itu, cantik, anggun, sholeha, pinter masak, kalem. Apa meneh pas lagi senyum. Humm... manis... untung aku lair jadi cewek, Mas. Coba kalau aku cowok, pasti tak gondol mbak Ning pas Mas sok jaim dulu, hehehe...” Citra terkekeh menggodaku.

“Huummm... gituuu yooo sama Mase. Dasar Citra Anarawati similikitiiii.” Dengan gemas aku raih hidungnya yang mancung dan menariknya hingga membuatnya berteriak.

“Gondol... gondol apa sih Citra?” Kemuning menimpali.

“Sini sayang, dekat sini. Tak peluk,” aku meraih pinggul Kemuning.

“Eiiissttt... Mas Arya mesti iming-imingi aku, mentang-mentang aku masih jomblo. Huuhhh... sebel,” celetuk Citra sedikit sebal.

“Biarin, biar cepat nyusul seperti kita ya, Sayang,” ucapku sambil bermain mata pada Kemuning.

“Awasss... jangan main mata kaya gitu, ntar bintitan lho Mas.”

“Hehehe...” aku tertawa bersamaan dengan Kemuning.

Senja itu memulas anggun kedua wajah bidadari. Satu wajah adikku yang cantik dan satu wajah istriku yang selalu menjadi sketsa di kanvas hatiku. Kebahagiaan yang selalu ingin aku genggam.

Kami sholat jamaah bersama di ruang keluarga. Menanti langit yang terbentang kelam, merajuk bintang-bintang yang ingin mendengar seruan cinta dari Sang Pencipta.

Malam ini, cengkerama kami sempurna. Celoteh Citra yang mewarnainya. Ibu selalu terkekeh saat mendengar cerita humoria Citra. Apalagi Kemuning, melihat senyum dan tawanya seakan memasung lengan dan kaki jiwaku terkurung dalam ruang cintanya.

Hemmm... rasanya tak tahan melihat senyumnya itu. Seperti secawan anggur merah, memabukkanku. Ingin selalu mereguk senyum itu, membuatku menjadi alkoholis dibuatnya.

Tanpa terasa, jam dinding berdentang menunjuk pukul 21.00 WIB. Entah, tiap malam adalah bagian waktu yang selalu aku tunggu. Kemuning naik tangga ukir beberapa langkah, aku mengikuti langkahnya dari belakang.

“Tunggu Mas...” suara Citra mencegah langkahku. Aku berhenti, begitu juga Kemuning. Kami menoleh ke arah Citra.

“Apa sih, Cit?”

“Aku yang tidur sama mbak Ning ya?” Citra dengan senyum nakal mencoba menggoda kami.

Tidak aku jawab, langsung saja aku menaiki tangga ukir lebih dekat Kemuning. Langsung aku bopong Kemuning.

CERPEN : KEMUNING, Cinta Tanpa BicaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang