8 | The Day Without Him

12 1 0
                                    

-cinta tak melulu tentang pacar atau romansa sepasang kekasih. Kenalilah cinta, maka kau akan tau seberharga apa cinta dari orang-orang di sekitarmu, ialah keluarga-

Whtthefable

PLAKKK

Bahu Ayah kini sudah naik turun, mencoba menahan emosi yang sebenarnya masih tersisa setelah meluapkan sebagian amarahnya barusan, dengan cara menampar putranya ini. Sedangkan aku kini hanya bisa meringis kesakitan ketika tamparan Ayah berhasil mengenai mulutku yang beberapa detik lalu berbicara tak sopan di depannya.

"Mau Ayah apa?" Suaraku kini bergetar, tak tahan lagi dengan semua perlakuan Ayah saat ini maupun saat lalu.

Ayah masih bungkam,

"Ketemu sama Juna cuma untuk lihat nilai trus marahin Juna pas nilai Juna ternyata tak seperti ekspektasi Ayah?" Lanjutku, sedangkan Ayah masih bungkam dengan sekujur wajahnya yang kini merah padam.

"Atau cuma mau nampar atau mukul Juna pas Ayah gak setuju sama apa yang Juna bilang?" Suaraku makin bergetar, mungkin terdengar seperti suara tangisan dari dalam.

"Ayah gak tau kalau yang Juna omongin itu nyata? Kalau Ayah emang gak pernah merhatiin Juna bahkan istri Ayah sendiri?!! Karena faktanya Ayah lebih memilih perusahaan dari pada kita?!!"

PLAKK

"ARNAN?!"

Mata Ayah kini sudah memerah, Bunda mendengar semua teriakanku dari luar. Karena sudah tak tahan mendengar suara tamparan itu, Bunda memberanikan diri untuk ikut campur urusan ini.

Ayah tak menoleh, Namun Bunda langsung menghampiriku untuk menolongku yang kini sedang meringis kesakitan.

"ARNAN?! Mau kamu apa sampai nyakitin darah daging kamu sendiri kayak gini?!"

Aku sudah hafal betul, Kalau Bunda sudah marah besar seperti ini maka panggilan Ayah akan berubah menjadi panggilan dengan nama.

"Kamu saja yang gak dengar kata-kata anak bandel ini!! Dia sudah kurang ajar!!"

Mataku sudah berkaca-kaca.

"Setidaknya kamu nasihati, gak perlu main tangan begini."

"Dia udah kelewat batas, Anak macam gini harusnya kamu telantarkan saja!!"

"ARNAN?!"

"ANAK GAK BERGUNA!! MULUT ANAKMU INI SUDAH JADI SAMPAH YURA!!"

Mataku kini memerah, rasanya ingin menangis namun berusaha ku tahan. Kau tau keadaan hatiku saat itu? Rasanya...bukan hancur lagi, bukan kecewa lagi. Bahkan kepercayaan dan cinta yang Ayah berikan untukku dulu sudah hilang dari ingatanku entah kemana saat Ayah mengatakan itu.

Semua memori tentang kenangan-kenangan ku dengan Ayah, semua sekejap terpecah-belah menjadi jutaan kepingan mati yang harus dibuang. Hatiku hancur, tak percaya semua akan menjadi seperti ini dalam sekejap. Ayahku si periang, yang suka mengajakku jalan-jalan ke arena olahraga hanya untuk bermain basket atau pergi ke Timezone dan bermain bersama kini telah hilang.

Ayah berjalan keluar dengan langkah gusar, hatinya masih bergemuruh. Ayah merasakan sakit hati yang begitu dalam ketika aku mengutarakan semua perasaanku. Begitu juga Bunda yang kini menangis di sampingku, memelukku lalu berkata, "Ayah gak pernah benci kamu, Ayah cuma lagi menahan sesuatu."

For Sya [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang