Kemarahan Kano

29 7 2
                                    

Aku memeluk diriku sendiri. Sesekali aku mengusap lenganku. Di luar tengah turun hujan. Aku sangat tidak suka dengan cuaca dingin seperti ini. Karena aku alergi terhadap udara dingin. Aku mulai bisa melihat bintik-bintik merah muncul dipermukaan kulitku.

Aku melirik layar laptopku yang telah berubah menjadi hitam. Mengetuk-mengetukkan jariku pada meja.

Bagaimana ya?

Tugas ini harus dikumpulkan besok. Jika tidak maka aku akan dianggap gagal. Dan harus mengulanginya dari  awal lagi. Ya harus buat yang baru. Oh, tidak. Jangan lagi, ini saja kepalaku ingin pecah mengerjakannya.

Mencari ide baru. Mencari bahan. Mencari referensi di perpustakaan kota. Membaca buku-buku yang berhalaman ribuan. Lalu meminjam buku-buku tebal yang akan membuat tanganku patah mengangkatnya. Oke. Itu berlebihan. Tapi setidaknya, tanganku akan terasa kram. Belum lagi, harus berdagang, berjam-jam menghadap layar monitor. Membuat mata berair dan perih.

Membayangkan saja membuatku di landa stres, bagaimana jika itu terjadi?

Aku menghela nafas berat, melirik flashdisk yang ku jepit dengan ibu jari dan jari telunjukku. Ku putar-putarkan benda tersebut. Bingung harus melakukan apa?

Ini sudah tiga jam namun hujan tak juga reda. Memang tidak sederas yang tadi tapi masalahnya aku tidak tahan dengan udara dingin.

Kepalaku rasanya berputar. Sakit dan pening dalam waktu yang bersamaan.

Apa aku harus keluar untuk mem- print tugas ini kemudian aku akan terbaring selama tiga hari di ranjang atau aku tetap di rumah membiarkan tugasku terbengkalai lalu aku mengulanginya dari awal dan aku akan depresi?

Tidak ada pilihan yang bagus.

"Menurutmu, aku harus keluar atau tetap di rumah saja?"

Aku memandangi wajah Kano. Ia tengah tersenyum, manis sekali.

"Aku tahu kau pasti marah jika aku keluar sekarang. Tapi, Kano, tugasku tidak akan selesai jika aku tidak keluar,"

Aku meramas ujung jaketku, mengigit bibirku sendiri. Memberanikan diri untuk menatap wajah Kano, "Maafkan aku. Aku harus keluar. Kau tidak marahkan?"

Aku menghela nafasku. Bagimanapun juga aku harus memprint tugas ini. Jika tidurku ingin nyenyak malam ini.

Aku berdiri. Menyambar syalku. Berjalan keluar. Ketika sudah mencapai ambang pintu, aku berbalik menatap Kano. Entah kenapa aku merasa Kano melarangku. Ah, sudahlah, itu hanya perasaanku saja. Lagi lupa, Kano tidak ada di sini.

Dia hanya selalu ada di mimpiku, halusinasiku dan tentu saja di hatiku.

Aku menarik senyum tipis kemudian beranjak. Berjalan keluar rumah.

Dingin.

Sangat dingin. Itulah pertama kali yang aku rasakan.

Aku berjalan dengan langkah kaki yang bergemetar. Tubuhku menggigil kedinginan.

Tiba-tiba saja tubuhku oleng. Bokongku mencium aspal. Astaga, aku bisa mendengar suara tulang patah.

Mataku terbelalak ketika netra ku menangkap sebuah mobil yang melaju kencang.

Aku buru-buru berdiri. Namun, sial! Aku tidak bisa berjalan. Kakiku terkilir. Aku kembali terduduk.

Aku bisa merasakan silaunya sinar lampu mobil tersebut. Jantungku berdegup kencang. Aku bahkan tidak bisa menjerit sekarang. Jadi akhirnya aku memilih untuk memejamkan mataku. Aku pasrah.

Jika aku mati, aku bisa bersama Kano. Setidaknya kami di alam yang sama.

BRAK!!

Aku bisa mendengar suara hantaman begitu kuat. Tubuhku terasa seringan kapas. Terapung di awang-awang. Aku mencoba membuka mataku. Bersiap melihat aku sudah tidak  lagi di tempat yang sama.

Mataku melebar. Aku melihat mobil tersebut menabrak tiang listrik.

Tapi kenapa bisa tubuhku seperti sedang berada di udara?

Aku mengalihkan pandanganku. Mengerjap tak percaya.

Ka-kano?

Aku milirik ke bawah. Kakiku memang tidak menyentuh tanah. Aku menggantung  di udara. Karena Kano menggendongku.

Aku menelan ludahku kasar. Tatkala mata Kano menatapku dingin, tajam dan menusuk.

Kano marah padaku.

END.

I'm Here For You || Flash Fiction||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang