Owekkk!!!
Mendadak Adrian merasa mual melihat ingus yang hampir melintas melewati batas bibir gadis lecek di hadapannya.
Rahma, gadis poni kepang dua itu sudah berkali mengelap cairan kental di hidung itu dengan bajunya.
Sudah tak dapat di gambarkan bagaimana penampakan bajunya. Kumal. Dekil. Lusuh. Lebih kotor dari kesedan milik Adrian di dapurnya.
Sudah bertahun lamanya sedari Rahma masih bayi mengenalnya. Kok nggak ada lucunya seperti kebanyakan bayi yang ditemui Adrian.
Bertambah usia bukan tambah lucu atau sedap dipandang mata. Rahma kian kumal dan lecek bagai tisu toilet yang diremas sehabis pakai. Menjijikkan!
Entah mengapa nasib apek bagi Adrain. Selalu diwajibkan untuk bermain dengan gadis kecil jorok itu jika masa mudik lebaran tiba.
Adrian berasal dari Jakarta. Mudik tiap lebaran ke Sukabumi dan menginap di kampung selama beberapa hari.
Saat itulah bertemu dengan Rahma dan harus berbagi mainan bersama si poni kepang dua yang kucel and dekil.
"Sana! Jangan pegang mainan aku! Jijik! Entar kena ingus kamu. Pergi! Jauh sana!" usir Adrian pada Rahma yang hanya bisa menatap dengan nanar.
Bagaimana bisa melawan itu memang bukan mainan miliknya. Tubuh gempal Adrian juga membuat Rahma ciut nyali. Apalagi Adrian selalu berhasil memperdayai dengan keisengannya.
Kadang memasukan binatang pada bajunya. Mengunci di kamar mandi atau mencubit bahkan menjambak kunciran.
Rahma yang ketakutan kian tegang. Memegang mainan Adrian dengan gemetaran. Air mata jatuh beserta isakan. Cairan kental di hidung kian deras membanjiri. Adrian semakin keki dan benci.
Bruggg!
Dengan kasar mendorong Rahma hingga terjungkal. Gadis mungil itu menangis kencang. Tubuhnya terjungkal jauh ke lantai.
Adrian asyik dengan mainan tanpa rasa bersalah. Aman mainan gua dari kontaminasi ingus gadis jorok itu. Batinnya.
"Adri ....!" bentak Mama seketika berlari saat mendengar suara benda terjatuh di iringi tangisan kencang Rahma.
Ibunya Rahma juga secepat kilat memeluk anaknya yang masih terkapar tak berdaya di lantai.
"Kenapa? Kamu apain Rahma? Jawab!" teriak Mama berang.
Sudah berulang kali Adrian menjahati Rahma. Setiap tahun ada saja ulah yang menyiksa Rahma. Gadis kecil berusia lima tahun di bawah Adrian.
Adrian diam ketakutan melihat api dalam mata mamanya. Mamanya naik pitam. Malu dengan tamunya ketika anaknya malah berulah. Adri tahu jika sudah berbuat salah.
"Sudahlah, Mbak! Namanya juga anak kecil. Bertengkar itu sudah biasa nanti juga baik lagi. Kasihan jangan di marahi! Lihatlah! Rahma tidak apa-apa, kok," ujar Ibu Rahma.
"Adri sudah keterlaluan. Padahal biasanya dia mau berbagi mainan sama temannya. Kenapa jika sama Rahma tidak? Selalu membuat Rahma menangis. Heran saya." Mama Adrian menggeleng kepala.
"Sudahlah, sekarang selagi kecil bertengkar sebagai sahabat. Kelak jika dewasa bertengkar sebagai pasangan kekasih dan suami istri. Jodoh siapa tahu. Jangan galak sama anak orang, Dri. Kelak kamu harus menjaganya seumur hidupmu," Bagaskara, Papanya Adrian tertawa lebar.
"Ih, jangan bilang gitu, Mas. Mereka mana ngerti. kayak tenanan aja sampean mau menjodohkan anak kita."
"Tenanan, kita jodohkan mereka jika dewasa. Aku ingin Rahma jadi mantuku. Kelak si gendut Adrian juga akan jadi pemuda gagah dan tampan. Nggak kudisan sama kutuan kayak sekarang. Rahma juga akan menjadi gadis cantik jelita. Sekarang saja masih ingusan."
Adrian yang berusia 13 tahun sudah dapat mengerti ucapan papanya. Bahkan sudah mengenal cinta monyet tambah benci melihat Rahma.
Ogah gua harus suka lihat si kuda poni. Melihatnya juga sudah muntah apalagi harus jatuh cinta. Papa itu bercandanya kagak lucu. Gerutunya.
Hari itu hari terakhir Adrian melihat Rahma. Tahun berikutnya ketika pulang kampung tak pernah lagi bertemu dengan poni kepang dua, anak sahabat papa yang berprofesi sebagai petani. Adrian menyebutnya tukang kebun.
Papa Adrian adalah seorang pengusaha sukses dari ibukota. Berbagai bidang usaha digelutinya. Dari mulai peternakan, perkebunan, hingga proferti.
Keluarga mereka hidup bergelimang harta. Adrian terbiasa dengan segala kemudahan fasilitas dan kemewahan.
Gaya hidupnya menjadi hedonis dan berperangai kurang baik pada orang lain. Makanya setahun sekali Papa akan membawa pulang kampung supaya Adri tahu bagaimana sulitnya kehidupan manusia di pedesaan.
Adri diharap bisa menjadi lebih empati dan menghargai orang. Papa ingin Adrian bisa melihat bagaimana susah payahnya berproses mencari rupiah dengan susah payah. Bukan hanya sekedar santai menikmati kekayaan.
*****
Belasan tahun berlalu. Semenjak pertemuan terakhir. Adri tak pernah lagi melihat Rahma jika mudik lebaran. Menurut cerita ayahnya, Rahma masuk pondok dan tak boleh pulang selama belum kelar pendidikan.
Adri bernapas lega tak harus bertemu dengan gadis kepang dua yang kucel and the dekil itu lagi, tapi kadang hinggap penasaran di hati. Apakah wajahnya masih kucel dengan ingus menghiasi atau sudah berbeda.
Adrian tumbuh menjadi pemuda rupawan. Berperawakan tinggi dan tubuh atletis. Menjadi primadona kampus. Tak ada yang tak mengenal Adri.
Bermodal wajah rupawan dan gandengan mobil keluaran terbaru. Siapa yang tak terpesona. Semua perempuan akan bertekuk lutut padanya.
"Dri ... jadi traktir kita," goda Vanty dengan genit.
"Ok, tenang saja. Kita berangkat party sore ini," jawab Adri dengan tersenyum.
Masuk ke kereta besi kesayangan dan melajukannya dengan kecepatan sedang. Adri selalu menjadi kambing peras dan donatur acara sahabatnya. Pemuda itu sangat royal menghamburkan uang. Maklum pundi rupiah takkan pernah habis dinikmati oleh tujuh turunan. Hingga Adri tak sayang jika harus membuang uang.
"Hebat rayuan mautnya, Vanty! Kita bisa menikmati malam Minggu dengan gratisan." puji Dwi menepuk bahunya.
"Buat apa punya teman tajir kalau tidak kita manfaatkan, bener nggak? Yuk, ah kita pulang! Hari ini kita siap makan dan minum gratis sama pasangan kita. Ok!"
Vanty berlalu. Sudah biasa jika Adri menjadi donatur acara kumpul-kumpul. Mereka bisa juga menikmati manisnya harta keluarga Bagaskara. Adri yang kaya dan semua sahabat turut menikmati keroyalan Adri yang suka menghabiskan banyak uang dan gila pujian.
*****
"Astaghfirullah, mah, lihatlah!" Papa menyodorkan hasil tagihan kredit card Adri bulan ini.
Nominal yang pantastis untuk seorang mahasiswa yang tak kunjung lulus. Padahal sudah 6 tahun menimba ilmu di fakultas swasta ternama. Adri kuliah jurusan ekonomi tapi selalu menjadi orang yang merugi secara ekonomi. Ilmu yang di timbanya sama sekali tak berguna.
"Itulah, anakmu. Paling juga buat traktir temennya. Bingung mama menghadapi anak itu," mama malah menggaruk kepala tak gatal.
"Kuliah saja tak bener. Uang jajan sebulan sampai seharga mobil second. Kenapa tak bisa seperti Rahma. Sekarang sudah lulus dari Al Azhar. Bulan besok akan pulang ke Sukabumi. Ekonomi keluarga mereka pas-pasan tapi anaknya cumlaude dengan gelar master. Malu papa sama Rijal. Kalah telak darinya. Tak mampu mendidik anak."
"Jangan bandingkan anak, Pah! Pamali. Baik buruk itu tetap anak kita. Mungkin kita harus mulai bertindak tegas padanya. Sini!"
Mama mendekat dan membisikan sebuah rencana untuk mengerjai dan menyadarkan Adrian sang putra.
Papa tersenyum. Yakin cara mengerjai sesuai ide mama akan membuat Adrian jera.
Apa rencana mama? Kita tunggu part depan.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan jodoh pilihan
General FictionAdrian, seorang hedonis dan tak mempercayai arti kesakralan pernikahan. memilih menjadi petualang cinta dibandingkan mencari pelabuhan terakhir hati di usia yang sudah lumayan matang. Harus bersedia menerima perjodohan dengan gadis dari masa lalu ya...