Chapter 4

299 31 1
                                    

Ketika aku yakin kalau separuh hatiku sudah tertidur, aku membuka mataku, menatapnya dalam-dalam. Aku mendekapnya lebih erat lagi, meyakinkan diriku jika dia yang kudekap ini, nyata.

Aku tidak bisa melepaskan dia lagi. Cukup sekali yang terjadi waktu itu. Aku tak bisa membiarkan dia menangis lagi. Air mata dan kesesakannya, aku harap malam ini adalah yang terakhir.

Aku menghembuskan nafasku dengan berat. Berusaha melepaskan kesesakanku sendiri.
Tanpa dia berbicara, aku tahu apa yang membuatnya menangis sedalam itu. Aku tahu dengan sangat. Tapi aku tak mau membuatnya semakin sesak.

Gun,
Aku tak bisa menjanjikan pelangi di matamu.
Aku tak bisa menjanjikan senyummu tanpa air mata.
Aku tak bisa menjanjikan aku selalu ada bersamamu.
Aku tak bisa menjanjikan hari kita akan selalu manis.
Aku tahu, aku tak bisa menjanjikan apapun untuk bahagiamu.

Aku mengambil tangannya, menggenggam telapak tangannya, dan mencium cincin yang kusematkan di jemarinya yang cantik.

Phi,
Aku bisa menjanjikan, aku, hatiku, pikiranku, dan diriku, semua hanya untukmu. Untukmu.

Kupejamkan mataku, dan terlintas bayangan yang terjadi beberapa waktu lalu.
Waktu, yang merubah segalanya. Membuat segalanya menjadi seperti ini.

Perlahan aku melepaskan diri darinya, berusaha turun dari tempat tidur, dan keluar dari kamar tanpa suara. Karena Gun orang yang mudah terbangun walau sekecil apapun suaranya.
Aku melangkahkan kakiku ke dapur untuk mengambil segelas minuman.
Wine dingin. Wine dengan warna pekat hampir semerah darah, kesukaan Gun.

Sekembalinya aku ke kamar, aku menemukan Gun terduduk. Matanya terbuka lebar namun wajahnya membeku.
Perlahan aku naik ke tempat tidur lalu duduk menyandarkan diriku di sampingnya. Dia menatapku, mengikuti gerakanku, lalu meletakkan kepalanya di antara leher dan pundakku.

"Phi, minumlah ini."

Gun mengambil gelas dariku, memutarnya sedikit, lalu mencium harumnya anggur, menghirupnya dalam-dalam seperti udara pagi, lalu meminumnya.

Tak lama, dia memberikan gelasnya padaku, lalu mencium ringan bibirku. Dia menurunkan tubuhnya hingga kepalanya di perutku. Setelah dia menyamankan dirinya, dia memelukku dengan tangan dan kakinya mendekapku, persis seperti koala.

Mau tak mau aku tertawa kecil melihatnya seperti itu. Walau aku tau, saat pagi nanti badanku akan sakit, tapi melihatnya bergelung seperti anak kucing berbulu selembut kapas, setidaknya membuatku sedikit tenang.

Kubelai rambutnya yang beraroma vanilla dan sedikit kayu manis sambil menghabiskan wine di tanganku.

Ya, bahagiaku sesederhana ini.
Tapi untuk mencapai kebahagiaan yang sederhana ini tidaklah mudah. Dan aku tak akan pernah melepaskannya lagi.
Tidak akan.

Karena aku tidak mau kehilangan nyawaku lagi.

To You I BelongWhere stories live. Discover now