~•●•~
Ada satu kemungkinan kenapa aku begitu menyesal mengabaikanmu, karena sayang mungkin.
~•●•~
---------05/11/2019 Selasa---------
+62821********
Bandung
Rumah berwarna coklat di dalam hutan pinus
Ke arah timur dari jalan utama
Hidup kekasihmu tergantung padamu
Pukul 09.00 PM
Salam dari kekasihmu Shabrina Iswara, terdapat bekas cekikan dan luka lebam pada pergelangannya. Telat semenit, lukanya akan bertambah.
18:07 PMArvino menarik nafas panjang lalu menghembuskannya sembari melempar pandangan kepada laki-laki dihadapannya. Ia menarik sudut bibirnya, memicingkan matanya, mempertanyakan maksud dari sebuah pesan yang barusan ia baca lewat mimik wajahnya.
"Ada apa? Ada yang aneh?" Akhirnya Fakhri membuka suara. Tatapannya menaruh rasa curiga.
Arvino menggeleng sambil tersenyum "Ini... penipuan."
Fakhri berdecak lalu meremas pangkal rambutnya "Yaa Tuhan..." serunya sembari menatap kesal Arvino "Gue udah bilang tadi! Penculik itu nelfon gue dan... ada suara Zanissa disana, kenapa lo ga paham juga si?! Zanissa dalam bahaya."
"Entah sampai kapan perempuan itu menyulitkan hidup saya?" Ucap Arvino dengan suara kecil "Lantas? Apa yang harus kita lakukan?"
"Pergi kesana. Kita ikuti alamat ini."
Arvino mengangguk lalu mereka bergegas meninggalkan kedai ice cream itu.~•●•~
Nino memperhatikan istrinya yang sedang berdiri, melihat keluar jendela. Ia pun melangkahkan kakinya mendekati istrinya.
"Alea?"
Suara berat Nino mengagetkan Lea dari lamunannya. Sontak ia pun menarik kepalanya ke sumber suara. Lea diam tapi wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Bagaimana tidak? Ia kehilangan putri semata wayangnya. Berangsur-angsur, air mata yang sudah ia bendung pun pecah dihadapan suaminya. Tidak tanggung-tanggung, ia menangis terisak sambil menyandarkan kepala pada dada bidang suaminya. Nino mengulurkan kedua tangannya untuk mendekap Lea, ia mengusap pipi istrinya yang masih mulus itu.
"Zanissa... Zanissa dimana..."
"Zanissa..." suara rintihan Lea kembali membuat getaran pada telinga Nino. Rasa bersalah dan spekulasi buruk pun mempengaruhi pikirannya.
Nino mengelus rambut hitam Lea dengan lembut "Zanis pasti akan ditemukan. Aku sudah melaporkan hilangnya Zanis kepada pihak yang berwajib dan... barusan aku dapat kabar kalau Fakhri dan Arvino juga sedang mencari putri kita." Nino menghela napas pendek "Jangan khawatir sayang, ada aku disini."
Lea mengangguk sambil mengusap hidung bangirnya "Semoga mereka menemukan putri kita."
~•●•~
"Kita dimana?"
Arvino menyandarkan punggungya pada body mobil Mercedes miliknya. Ia merebut ponsel yang sedari tadi Fakhri genggam. Lalu membuka pesan dari pemculik itu.
"Kalo dari alamat yang tertera di pesan ini sih... memang benar disini tempatnya." Ucap Arvino sambil melempar senyuman kepada Fakhri.
"Bodoh banget tuh penculik, kenapa gak share location aja. Terus? Kita kemana?!" Fakhri mulai hilang kendali dirinya, ia sangat kesal lantaran belum berhasil menemukan Zanissa. Ia pun berjalan menjauh dari posisi Arvino berdiri.
"Zanissa...."
"Zanissa!"
"Zanissa... kamu dimana... Zanissa Andraella..." pekik Fakhri tak henti-hentinya.
"Jangan bercanda Zan! Keluar lo! Gue disini jemput lo! Gue janji--" ada jeda beberapa detik sebelum ia melanjutkan kalimatnya "Gue gak akan ninggalin lo, gue gak akan biarin lo sendirian, dimana pun lo berada."
Arvino menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat kelakuan Fakhri seperti orang hilang akal. Arvino berjalan menuju Fakhri yang sedang mengatur deru nafasnya.
"Zanissaaaaaa....!"
"Sudah cukup Fakhri, ayo kita masuk ke dalam hutan pinus ini. Mungkin kita bisa menemukan rumah yang dimaksud penculik itu, saya yakin Zanissa ada disana."
Fakhri mengangguk pasrah. Kemudian mereka berdua memasuki hutan pinus tersebut dan meninggalkan mobil yang terparkir sembarang di jalan. Mereka berdua berjalan berdampingan menyusuri jalan setapak yang lembab selepas gerimis. Arvino sedari tadi menampakkan wajah berseri dan kini ekspresi itu masih ia pertahankan. Tapi, berbeda dengan perasaannya yang gelisah sejak mendengar kabar kalau Zanissa hilang dan di culik. Ditambah lagi saat ia membaca pesan itu, terdapat kalimat yang mengatakan kalau Zanissa dilukai dengan sengaja. Arvino membatin tapi tidak ia tunjukkan di hadapan Fakhri.
"Sun Rays"
Suara lirih Fakhri menyadarkan lamunan Arvino. Arvino melirik Fakhri tanpa menghentikan langkahnya.
"Sun Rays? Sinar matahari?" Tanya Arvino penasaran, ia mendongakkan kepalanya dan melihat langit yang mulai gelap "Sudah malam, tidak ada sinar matahari--"
"Bukan itu, lo gak akan paham."
Arvino mengernyitkan dahi "Lama-lama sikapmu mirip dengan gadis itu"
"Gue gak akan sanggup kehilangan Zanissa, karena dia sinar kehidupan gue."
"Kamu mencintai gadis itu?"
"Enggak mungkin gue mencintai dua perempuan sekaligus dalam waktu bersamaan."
"Maksud kamu?"
"Gue cuma mencintai Shabrina--"
Arvino meraih bahu Fakhri "Tunggu, Shabrina? Kenapa di pesan itu mengatakan kalau Shabrina yang mereka culik, bukan Zanissa?"Fakhri terdiam lalu menghela napas "Ya. Itu yang gue bingung, kenapa penculik itu anggap Zanissa... atau jangan-jangan..."
"Kesimpulannya... Mereka menyandra Zanissa agar kamu datang ke tempat ini. Penculik itu menginginkan kamu Fakhri bukan Zanissa." Ucapan Arvino membuat Fakhri menatapnya bingung.
To be Continue....
I'm comeback guysss 🌷
Happy Eid Mubarak🐏
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sun Rays [END]
General Fiction21 juli 2018 - 05 January 2020 "Panggil aku Sunrays..." mendengar suara yang berasal dari arah pintu, Zanissa menoleh. Ia mendapati Mevia yang semringah menatapnya. Mevia berjalan menuju Zanissa lalu bersandar pada dinding. "Aku... sinar yang menera...