Hai, ada yang kangen sama aku?
.
.
Jungkook, hanya butuh Taehyung.
Dia tak butuh belas kasih dan semua obat berbau menyengat.
Jungkook, merasa bahwa ia dan Taehyung hampir usai,
Bahkan sebelum mereka memulai.
.
Kembali ke Korea, menghirup udara di tanah kelahirannya. Setelah pemutusan sepihak oleh keluarga McDonny dengan alasan mental Jungkook yang sedikit terganggu, serta Nancy yang berpaling dan lebih memilih enggan berdekatan dengan lelaki 'sakit' seperti Jungkook. Jungkook puas, meski dalam batin ia masih terlalu enggan untuk bercakap dengan Ayahanda-nya yang sekarang sedang menatap lurus kearah mobil jaguar berplat merah yang menunggu kehadiran mereka di depan pintu bandara.
"Cepat sembuh," kalimat terakhir dari keluarga Nancy dengan senyum meledek pada si hazel yang naik pesawat dengan menaiki kursi rodanya.
Ini Korea. Jungkook memiliki harapan besar bahwa ia nantinya bisa bertemu kembali dengan Taehyung setelah tujuh bulan lamanya. Sejak ia sadar dan membisu sekitar sebulan, hanya tangisan Seokjin setiap malam yang menjadi lagu tidurnya sampai pagi buta. Serta suara cekcok antara dua orang tuanya yang memekakan telinga dibalik tidurnya. Jungkook kadang menemukan memar pada pelipis Seokjin maupun dahinya.
Ini karenanya.
"Dan dia bukan anak kandung kita, ingat faktanya!" dan satu kalimat yang meremuk-kan hatinya saat mulutnya sudah berusaha untuk berbicara, meminta maaf, dan memeluk lagi kedua orangtuanya. Sayang, menatap Namjoon saja ia enggan.
"Kook, ingin makan sesuatu?" Namjoon menoleh lewat spion depan mobil. Melihat pada putranya yang menatap keluar jendela sambil menggeleng pelan. Seokjin tertidur, dia tampak lelah setelah semalaman mengurus biaya administrasi sementara Namjoon bolak-balik Korea Amerika entah untuk apa.
Manik Namjoon berkaca-kaca, kemudian ia segera menaikkan kacamata hitamnya dan kembali menatap layar ponselnya. Mungkin, suasana ini berbeda dari beberapa tahun lalu. Mungkin, tak sama seperti saat Jungkook pertama kali datang dan tidur dalam timangan Nam-joon.
"Kita sampai," Jungkook menatap ke luar. Sungai Han dan beberapa penjual jagung yang dulu menjadi favoritnya. Entah sejak kapan Seokjin terbangun, tapi ibunya itu segera menuntunnya keluar. "Mau jalan-jalan?" Namjoon tersenyum, mengulurkan tangan dan lalu mendorong kursi Jungkook dengan hati-hati melewati pinggiran.
"Kau ingat, dulu saat kecil kau pernah jatuh disini dan enggan berjalan selama tiga hari karena lecet," Namjoon mulai bercerita. Jungkook perlahan mengingat setiap gerakan pada memori masalalunya. Benar, dulu dia selalu minta gendong selama tiga hari saat terjatuh ketika umurnya menginjak enam tahun. Menggemaskan.
"Kemudian, setiap sepulang dari rumah Nenek, kita mampir kesini untuk beli jagung bakar dan terkadang hanya duduk-duduk sambil minum teh hangat saat akhir pekan," Seokjin tersenyum. Mengingat bahwa Jungkook tumbuh semakin dewasa dan mereka tak memiliki waktu panjang untuk berkumpul.
"Semakin dewasa, terkadang aku hanya kemari seorang diri. Kau sibuk dengan perusahaanmu dan kadang tak pulang. Terlebih, setelah aku memaksamu berjodoh dengan putri sahabat karibku," Namjoon terkekeh.
Jungkook menunduk, perlahan air matanya menetes.
Namjoon berjongkok didepannya, mengelus pundak putranya sambil melepas kaca-mata hitamnya memperlihatkan maniknya yang basah karena air mata. "Kau, putraku, walau bukan putra kandungku, kau permataku. Aku yang bersalah. Memaksamu, menekanmu sejak masuk sekolah menengah, mengekangmu, dan bahkan memperlakukanmu seenaknya."
Jungkook bergetar, tak berani menatap mata Ayahnya yang ia benci sejak tujuh bulan ini. Yang selalu ia sumpahkan agar cepat mati dan meninggalkannya. Ayah yang selama ini dia acuhkan. Namun dibalik itu, Jungkook menyimpan rindu pada sosok yang selalu menawarkan pundak kokoh dan bahunya sebagai tempat bertumpu. Sosok tegas namun sedikit keterlaluan karena main fisik. "A-ay.."
"Jungkookku, putraku, maafkan Ayahmu. Ayah berjanji, Ayah tak akan mengekangmu. Bahagiamu, bahagiaku. Maafkan Ayah, ya?" ia mengecup kening putranya. Seokjin menghadap ke belakang dan menangis sejadi-jadinya. "Hiks..." Jungkook memeluk Namjoon dengan erat, membiarkan air matanya membasahi jas Ayahnya. Ia rindu, biarkan sejenak saja. "Aku...sayang Ayah..."
.
.
"Nek?"
"Ya, Taehyung?"
"Aku mau ke ladang sebentar menemui Kakek. Nenek sendirian tidak apa-apa?" tanya Taehyung. Nenek menengok dari dapur, meringis melihat perut membuncit yang dilapisi baju kedodoran serta celana longgar cucunya. "Ya, tak masalah. Tapi jangan kecapekan, oke?" kata Nenek.
Taehyung mengangguk, "Nek, Yeonjun akan segera selesai ujian. Jadi mungkin dia akan menyusul kemari. Jadi, jangan khawatir. Aku akan lebih merepotkan Yeonjun nantinya."
"Ya, ya. Terserahmu."
Taehyung terkekeh. Berjalan dengan hati-hati, ia menuruni tangga dan hendak mema-kai sendalnya dan mengambil topinya. "Kim Taehyung?"
Si rambut madu tersentak dan bahkan perutnya sedikit menubruk pria di belakangnya. Ia mendongak, "P-Pak...P-Pak Namjoon..."
"Nice to meet ya, sweetie. How are u?"
Dan entah kenapa, perutnya melilit beserta tangannya yang langsung berkeringat. "Tuhan, mau apa dia dengan lelaki di belakangnya?" batinnya.
TBC.
Cie nunggu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend With Benefit! (S1-END)
RandomIni hanya tentang takdir, penyesalan, dan bagaimana cara mengakhirinya. homophobic? Go away. Top!Kook X Vottom. NC +18, M-PREG #9 di kookv (11 Juli 2019)