Bab 3

952 97 10
                                    

"Jangan merasa dirimu paling terluka, karena masih ada manusia lain yang merasakannya, atau bahkan lebih buruk."

-Ivander Cullen Sadewa-

●●●

HASIL rontgen kaki Dewa sudah keluar dan tidak ada sesuatu yang fatal, walau sekarang dia masih membutuhkan alat penyangga. Kata dokter, mungkin sekitar satu atau dua minggu kakinya akan kembali berjalan normal.

Setelah keluar dari rumah sakit, Dewa langsung main ke apartemen Aleena, dengan modus ingin meminta bantuin perempuan itu dalam pengerjaan skripsi, padahal ini hanya akal-akalan Dewa supaya memuluskan rencananya dalam mendapatkan Aleena.

Aleena datang dengan secangkir teh dan beberapa toples camilan yang dia letakkan di atas meja, dia tetap memperlakukan Dewa seperti tamu pada umumnya, meski tidak diharapkan kedatangannya.

"Makasih, Bu."

Dewa mulai mengeluarkan laptop dari dalam tasnya, dan beberapa buku tebal sudah ada di sampingnya.

Aleena membaca buku yang Dewa bawa dan memberi tanda dengan stabilo apa saja yang harus Dewa cantumin ke skripsinya.

"Ini udah saya kasih tanda, jangan lupa apa yang kamu ambil dari buku atau sumber lain beri kutipan, biar skripsi kamu nggak kena plagiasi nanti," Aleena menjeda kalimatnya, "ini teorinya tinggal kamu kembangin pakai bahasa sendiri."

"Oke, Bu."

Sembari menunggu Dewa mengerjakan skripsi, Aleena memainkan game candy crush yang ada di ponselnya. Tak lama kemudian, muncul seorang anak perempuan yang baru bangun tidur, dan langsung duduk di sebelah Aleena.

"Bunda ...," ujar anak itu.

Mendengar kata Bunda, Dewa langsung menoleh ke arah Aleena. "Ibu udah punya anak?"

"Ayah? Dia ayahnya Acha, Bun?" tanya anak itu yang baru sadar akan kehadiran Dewa.

Dewa dan Aleena terkejut dengan ucapan bocah empat tahun itu.

"Buk—"

Belum selesai Aleena menjawab, Acha langsung memotongnya. "Kata Bunda, kalau ada laki-laki yang datang ke rumah itu ayahnya Acha, dan ini yang pertama Acha lihat datang ke rumah."

Bocah empat tahun tapi sudah pandai ngomong, terkadang hal itu yang membuat Aleena kewalahan dalam mengurusi Acha selama ini, banyak pertanyaan yang Aleena bingung mau jawab apa, seperti; mana ayahnya Acha? Kenapa Acha nggak punya ayah? Atau hal lain yang menyangkut ayahnya.

Dewa langsung mengangguk. "Iya, saya ayahnya kamu."

Acha tersenyum. "Benar?"

Aleena memijat kepalanya yang sudah pusing dengan pengakuan tidak benar dari Dewa.

"Acha ke kamar, ya. Bobo lagi."

"Tapi Acha masih mau sama ayah."

"Ingat apa yang selalu Bunda ajarkan? Acha harus jadi anak penurut."

Acha langsung turun dari sofa tersebut. "Yaudah Acha ke kamar lagi, bye Ayah." Dia melambaikan tangannya ke Dewa.

"Saya nggak nyangka ternyata Ibu udah punya anak."

"Namanya Alecha Salsabila, umurnya empat tahun, ibunya meninggal saat melahirkan Acha dan ayahnya pergi entah ke mana, mungkin sekarang udah punya keluarga baru," Pikiran Aleena menerawang ke masa lalu, "karena tidak ada yang mengurus Acha, jadi saya memutuskan untuk mengurus dia, sampai sekarang saya tidak tega untuk memberitahu tentang fakta itu. Biarkan dia mengira kalau saya adalah perempuan yang melahirkannya, dia sering bertanya tentang ayahnya dan saya bingung mau jawab apa."

Cerita hidup Acha mengingatkan Dewa tentang dirinya sendiri, tapi Dewa masih beruntung karena sang ayah masih membiayai hidupnya, sementara Acha, melihat wajah kedua orang tuanya pun belum pernah.

Aleena menatap Dewa tajam. "Dan tadi kamu kenapa ngaku jadi ayahnya dia? Nanti dia pengen ketemu kamu terus."

"Refleks, Bu. Iya nggak apa-apa, biar Ibu nggak perlu cari alasan setiap dia tanya di mana ayahnya."

Aleena menghela napas. "Nanti akan ada pertanyaan, kenapa Ayah dan Bunda nggak tinggal bareng? Dan bisa-bisa dia minta kamu tinggal di sini."

Aleena tidak bisa membayangkan kalau Acha benar-benar meminta hal itu.

"Apa saya tinggal di sini aja, ya?"

"No, enak aja!"

Semua orang punya cerita hidup masing-masing, ada yang merasa dirinya paling pilu, padahal tanpa disadari di luaran sana masih banyak orang yang lebih pilu. Selalu melihat ke atas hanya akan menimbulkan rasa iri, sesekali lihatlah ke bawah agar lebih pandai bersyukur.

Sekarang Dewa paham, dirinya bukan satu-satu manusia yang tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah.

"Udah sana kerjain skripsinya, jangan ngelamun." Aleena membuyarkan lamunan Dewa.

Dewa melirik arloji yang ada di pergelangan tangan kirinya. "Bu, udah sore banget, saya pulang aja, Ibu juga kayaknya butuh istirahat."

"Oke."

Dewa memasukkan buku dan laptopnya ke dalam tas. "Makasih, Bu. Saya permisi."

●●●

Di lift Dewa berpapasan dengan seseorang yang tidak asing di penglihatannya, Keano Alfanza. Ekspresi Dewa dan Kean sama, sama-sama terkejut. Dulu mereka rival dalam segala hal, bersaing mendapat jabatan ketua OSIS yang berhasil diraih oleh Dewa, bersaing mendapatkan seorang perempuan yang akhirnya didapatkan oleh Kean, dalam hal apa saja mereka selalu bersaing.

"Udah bisa move on dari Adisa?" pertanyaan Kean yang secara tiba-tiba membuat Dewa terkejut.

Adisa Putri adalah perempuan yang Dewa kejar saat SMA, tapi perempuan itu tak menganggapnya lebih, hanya teman. Sampai akhirnya Kean dan Disa berpacaran, Dewa memilih menjauh, tidak menatap Disa sebagai seorang teman lagi, bukan karena Dewa membenci Disa, dia hanya ingin menjaga hatinya agar tidak semakin sakit.

Kalau ditanya move on atau tidak, Dewa sendiri tidak bisa menjawabnya karena jujur Dewa rindu dengan Disa, cinta pertamanya.

"Lo diam berarti lo belum move on, ya?" tanya Kean lagi.

Pintu lift terbuka menyelamatkannya dari pertanyaan Kean, mereka pun keluar.

Kean menepuk pundak Dewa membuatnya berhenti melangkah. "Ntar malam, jam 10. Gue tunggu lo di tempat balapan sewaktu SMA, kalau lo menang, Disa gue balikin ke lo."

Dewa menoleh lalu menatap tajam. "Balikin? Lo kira Disa itu barang?"

"Gue bosan sama dia, terlalu polos. Hampir empat tahun gue jalan sama dia tapi gue nggak dapat apa-apa."

"Bangsat!" Refleks Dewa langsung memukul kepala Kean menggunakan alat penyangga kakinya.

"Tahan dulu, kita selesaikan di jalan nanti malam."

Dewa menatap punggung Kean yang semakin menjauh, bayangan masa lalu kembali memenuhi pikirannya.

●●●

Halo kembali lagi bersama Dewa, jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan comment.

Love,
Mlyftr96

DEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang