Bab 2

1K 108 14
                                    

"Terkadang canda dan tawa tercipta hanya tameng untuk menutupi hati yang terluka."

-Ghazia Aleena-

●●●

SEDARI tadi Dewa terus melirik arloji yang berada di pergelangan tangan kirinya, sudah hampir jam dua belas malam tapi Nando—ayahnya— belum juga pulang. Dewa sengaja menahan kantuk hanya untuk menunggu Nando, dia harus mendapatkan semua jawaban yang terus memenuhi pikirannya selama ini.

Setelah terdengar suara mobil, Dewa menghela napas lega, artinya apa yang ditunggu telah tiba. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka.

"Papa," panggil Dewa saat Nando sudah masuk ke dalam rumah, "Pa, Dewa mau ngomong."

Nando menghentikan langkahnya, namun dia tidak menoleh ke arah Dewa.

"Pa, aku salah apa? Kenapa Papa nggak pernah bicara sama aku?" tanyanya to the point.

Nando masih dengan raut yang sama, datar.

"Emang aku punya salah apa? Bahkan Papa nggak pernah manggil nama aku."

Dewa maju beberapa langkah lalu memegang bahu Nando, berharap pria itu sudi menatapnya. "Aku anak Papa, kan?"

Nando hanya menghela napasnya, namun tetap tidak bersuara.

"Tampar aku, tonjok aku, atau bunuh aku sekalian, kalau itu yang buat Papa bahagia!" Dewa sudah tidak bisa menahan emosi, suaranya naik satu oktav.

Akhirnya Nando menoleh ke arah Dewa, lalu menampar pipinya dengan keras hingga menimbulkan bunyi nyaring. Dewa memegang bekas tamparan yang nyeri, untuk pertama kalinya Nando menyentuh Dewa.

"Lagi, Pa. Kalau itu yang buat Papa bahagia, lakukan semau Papa, tapi setelah itu beritahu aku jawaban atas semua pertanyaan yang aku lontarkan!"

Nando tidak peduli, dia meninggalkan Dewa di ruang tamu seorang diri. Bagi Nando, Dewa itu hanya seorang manusia yang Ana titipkan untuknya, kalau bukan karena pesan Ana saat itu, sudah pasti dia akan membuang Dewa jauh-jauh.

Harus dengan cara apa lagi Dewa mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya, sementara Dewa saja tidak tahu siapa saja keluarganya.

Rasanya kepala Dewa mau pecah memikirkan sesuatu yang menyebalkan ini.

Kalau Papa benci gue kenapa harus setengah-setengah? Dia masih kasih gue fasilitas, biayain pendidikan gue, dan semua keperluan hidup gue.

Akhirnya sebuah ide konyol terlintas di pikiran Dewa, dia mengambil minyak goreng di dapur, lalu dia tuang di tangga. Dewa menuruni anak tangga itu dan sesuai rencana dia terpleset jatuh ke bawah.

"TOLONG ... TOLONG ... TOLONG ... " Berkali-kali Dewa berteriak tapi Nando belum juga menghampirinya, seharusnya Nando mendengar teriakan itu karena jarak kamarnya dan tempat Dewa tidak begitu jauh.

"PAPA TOLONG, SIAPA PUN TOLONG." Dewa semakin berteriak, mengeluarkan seluruh suaranya.

Bukan Nando yang muncul melainkan Lastri dengan mata setengah kantuknya.

"Ya ampun, Mas. Saya bantu." Lastri mengulurkan tangannya tapi Dewa menolak.

"Mending Mbak ketuk pintu Papa dan kasih tahu saya jatuh."

Lastri mengangguk lalu menemui Nando di kamarnya.

Semoga Papa care sama gue.

Tak lama kemudian Lastri muncul. "Kata Bapak, saya yang antar Mas ke rumah sakit, nanti biar pesan taksi online. Bentar saya ke kamar dulu ambil hape."

DEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang