Sunni 22

11.1K 1.1K 45
                                    

Sorry lama dan koreksi Typoo 🤗
Selamat membaca..

"Saya serius suka sama kamu"

"Benarkah?" Sunni bergumam dalam sendirinya. 30 menit dia habiskan untuk duduk termenung disudut kafe, sendirian.

Setelah mendapat pengakuan yang mengejutkan, Sunni undur diri tanpa memberikan Fahri jawaban. Walau Sunni tahu Fahri tak menuntut jawaban darinya tapi tetap saja yang nama nya sebuah pengakuan itu perlu sebuah jawaban untuk memastikan langkah apa yang akan dia ambil kedepan.

Sunni menenggelamkan kepalanya di meja. Dia merasa begitu beruntung sekaligus tak pantas pada saat yang bersamaan. Dia hanya seorang janda dan Fahri adalah seorang laki-laki lajang dengan karier yang sangat bagus.

Sekali lagi dirinya bergumam, "apakah pantas?" Pipi nya berubah merona ketika mengingat wajah Fahri.

Benarkah dia jatuh cinta?
Secepat ini?

.
.
.

"Huh!" Helaan itu sudah berulang kali dia keluarkan hanya untuk mengurangi rasa gugupnya.

Saat ini Fahri sudah mengatakan perasaannya tapi entah mengapa respon yang diberikan oleh Sunni masih membuatnya sedih. Padahal dirinya sudah menyiapkan hati jika Sunni menolaknya. Tapi ternyata dia belum benar-benar siap. Rasa kecewa itu tetap saja hadir.

Dering ponsel tidak membuat Fahri menyentuh benda itu. Dibiarkannya hingga benda itu tenang dengan sendirinya. Selang beberapa menit benda itu kembali berdering nyaring hingga akhirnya membuat Fahri menyerah. Dia mengangkat telpon itu tanpa melihat siapa yang ada diujung telpon.

"Hallo!" Suara tegas itu yang menggema dipendengaran Sunni pertama kali.

"Maaf, kalau saya menganggu. Baiklah saya akan telpon lagi nanti"

Fahri hampir saja menjatuhkan ponselnya. Dia melihat ke arah layar dan benar saja nama Sunni terpampang disana. Sial!

"Maaf, saya tidak sedang sibuk" jawabnya cepat.

Sunni menghela nafasnya. Suara tegas tadi berganti menjadi lebih lembut.

"Saya minta maaf karena tadi langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa" Sunni menggigit bibirnya pelan. Dia takut jika Fahri marah padanya.

"Tidak masalah. Saya mengerti" jawab Fahri.

Sunni merasa Fahri tengah marah padanya. Apa dia sudah membuat Fahri kecewa?

"Maaf" lirihnya.

Terdengar suara kekehan di ujung sana. Apanya yang lucu?

"Saya tidak marah jadi kamu tidak perlu minta maaf. Saya paham dengan sikap kamu. Bagaimana bisa kamu menerima pernyataan saya yang sangat tiba-tiba. Benar kan?"

Tanpa sadar Sunni mengangguk.

"Jadi, saya harap kamu bersikap biasa saja sama saya. Tidak perlu canggung. Saya hanya ingin kamu tahu perasaan saya"

Sunni menimbang-nimbang. Dia ingin tahu alasan dari Fahri.

"Apa yang membuat bapak menyukai saya?"

"Saya tidak tahu. Saya hanya bisa mengatakan kalau saya menyukai kamu".

Dalam hati Sunni mmencelos. Jika tanpa alasan, bagaimana bisa dia mengerti.

"Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya benar-benar serius"

Benar-benar serius katanya? Apakah benar? Bisa dipercaya?

.
.
.

Satu bulan sejak pengakuan Fahri padanya, Sunni merasa bahwa sikap Fahri tidak banyak berubah. Hanya sedikit lebih perhatian, sisanya laki-laki itu tetap saja kaku. Mereka saling bertukar kabar, menceritakan pekerjaan dan lainnya, walau akhirnya mereka akan sama-sama kehabisan bahan obrolan. Sunni tak berharap banyak karena dirinya pun belum bisa membalas perasaan Fahri. Mereka cukup berteman dekat sekarang, itupun sudah lebih baik.

"Sunni, bisa kamu antar ini ke bagian kepegawaian? Aku lagi sibuk banget nih. Tolong yaa" Merry memasang wajah memelas. Siapa yang tidak luluh coba.

"Baiklah, Miss Paripurna" Sunni berdiri dari duduknya dan mengambil kunci motornya.

Dengan langkah cepat Sunni berjalan menuju tempat parkir sampai akhirnya dia bertemu dengan Fahri yang tengah berjalan ke arahnya.

"Mau kemana?" Tanya Fahri lebih dulu.

Sunni tersenyum ramah. "Mau pergi kepegawaian, pak"

Fahri menganggukkan kepalanya. "Hati-hati" ucap pria dengan kemeja biru muda itu sebelum meninggalkan Sunni. Sedangkan Sunni mengangguk lalu menuju motornya dan segera berangkat.

Ditengah perjalanan Sunni merasa ada sebuah sepeda motor yang mengikutinya. Berkali-kali dirinya melihat melalui kaca spion dan laki-laki dengan motor matic dan berjaket kulit warna hitam itu maaih terus berada dibelakangnya. Dengan perasaan gelisah Sunni melajukan motornya dengan kencang, berharap agar pengendara itu tak lagi mengikutinya. Tapi sepertinya laki-laki itu tak mudah menyerah, dia juga ikut melajukan motornya. Hingga saat di depan Sunni melihat sebuah kantor polisi sektor, dengan gugup Sunni melajukan motornya masuk ke halaman kantor itu dan benar saja, motor matic yang mengikutinya hanya lewat dan tak ikut masuk. Sunni sengaja menunggu sekitar 15 menit agar orang itu tak menunggunya.

Dari dalam kantor seorang polisi muda menghampiri motor Sunni. Dia sudah memperhatikan Sunni sejak 15 menit yang lalu.

"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya laki-laki yang bernama sakti.

Setengah terkejut Sunni terpaksa turun dari motornya. Dia menunduk takut. "Maaf, pak. Saya hanya kebetulan numpang istirahat"

Alis Sakti terangkat. Tentu saja dia tak percaya begitu saja. Sejak Sunni masuk, dia melihat gelagat Sunni yang seperti orang ketakutan.

"Owh, saya pikir anda sedang dikejar oleh seseorang" jawab Sakti.

Sunni tersenyum kaku dan menggeleng.

"Baiklah kalau begitu, jika anda benar-benar ingin istirahat. Anda bisa duduk dibangku tunggu kami. Lebih nyaman dan tidak panas tentunya." Sakti menunjuk pada kursi yang ada di depan kantornya.

Dengan cepat Sunni menggeleng. "Tidak perlu, pak. Saya sudah mau lanjut jalan kok"

Sakti menganggukkan kepalanya.

Sunni menaiki motornya dan menyalakan mesin. "Terimakasih, pak"

Sakti mengangguk lagi. "Hati-hati dalam berkendara. Selalu utamakan keselamatan dengan ini-" Sakti memasang tali pengaman pada helm Sunni sampai berbunyi "klik".

Pipi Sunni langsung merona. Dia sungguh malu karena lupa mengunci tali pengaman pada helmnya sehingga polisi ini yang melakukannya.

"Terimakasih, pak"

Sakti tersenyum dan membuat lesung pipinya tercetak jelas. "Sama-sama. Lain kali lebih hati-hati" ucap Sakti.

Sunni mengangguk dan berpamitan untuk segera pergi.

Sepeninggal Sunni, Sakti tersenyum sendiri. Ada sedikit rasa sesal dalam hatinya karena dirinya tak berani meminta kontak Sunni. "Mungkin jika jodoh, ada kata lain kali" gumamnya.

Diperjalanan Sunni memaki dirinya sendiri. Dia benar-benar malu tadi. Untung saja tidak ada yang melihat kejadian tadi. Kalau tidak mungkin dia akan semakin dibuat malu.

"Lapor, pak. Sepertinya Nona Sunni mengetahui ketika saya mengikutinya"

"..."

"Maaf, pak. Lain kali saya akan lebih berhati-hati"

.
.
.

Maaf banget yaa lama baru bisa Up lagi. Selain karena aku yang plin plan, aku juga sempet sakit sekitar 1 mingguan.. itu jadi membuat jadwal up yang udah lambat semakin lambat.. sorry

Aku udah nulis sebenarnya tapi setelah aku baca lagi. Aku jadi nggak suka ama tulisan ku sendiri 😂 jadi aku putusin buat nulis ulang part 22 ini. Dan jadilah yang ini. Walau masih kurang puas tapi aku pikir ini lebih baik daripada yang sebelumnya😉

Makasih untuk kesabarannya. Jangan lupa Vote dan Komen yang banyak. Terus sebarin juga cerita ini sama sodara, temen, tetangga sama mantannya pacar kalian juga 😂..

Dadah 🐙

Mahe pasar, 12 Agts 19

SUNNI (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang