Sunni 1

42.6K 1.5K 22
                                    

Sorry for typo

"Ini kopinya, mas" Sunni meletakan secangkir kopi lengkap dengan dua potong ubi rebus pada Budi, suaminya.

"Hmm, .... " hanya begitu sahutan dari Budi, tak ada ucapan terimakasih yang manis untuk Sunni tapi dia sudah biasa. Lelaki hitam manis itu masih tetap asik bermain dengan ponselnya.

"Sunni berangkat ya. Assalamualaikum" pamit Sunni akhirnya setelah menyandang tas dan memasang sepatu hitamnya.

Tapi sebuah intrupsi dari Budi membuat langkah Sunni terhenti.

"Oya, bulan ini kamu bayarin dulu cicilan rumah ya" ucapnya.

Sunni berbalik dan mendekat pada Budi, "loh, bulan kemarin kan mas udah janji mau bayarin uang cicilan rumah. Ko Sunni lagi yang harus bayar?" Tanya Sunni tak terima.

"Kenapa? Kamu keberatan? Iya?" Budi berdiri dari duduknya.

Sunni mengehela nafasnya, "bukan masalah keberatan, mas. Tapi selama 4 bulan ini kan aku yang bayarin uang cicilan rumah dan kamu sudah janji akan mulai bayar cicilannya bulan ini" Sunni mulai merasa jengkel dibuatnya tapi berusaha tetap berkepala dingin. 4 bulan menikah dengan Budi membuat Sunni mulai mengerti tabiat Budi yang memang mudah terpancing emosi.

Budi bedecak, "ck! Bulan ini aku harus servis motor aku. Banyak yang harus aku ganti. Dari aki sampai ban nya. Itu semua untuk keselamatan aku loh. Kamu mau suami kamu ini kenapa-kenapa di jalan, iya?"

Sunni mencoba untuk mengerti suaminya ini, "tapi apa nggak bisa mas gantinya jangan sekalian? Maksud Sunni, kan bisa satu-satu dulu, mas"

"Nggak bisa. Itu semua harus aku ganti bulan ini. Kalau kamu nggak mau bayar, biar aja rumah kita disita oleh bank dan kita ngontrak rumah" Budi kembali duduk dan menyeruput kopinya.

Sunni memejamkan matanya, "baiklah, nanti Sunni yang bayar. Kalau gitu Sunni berangkat ya, mas. Assalamualaikum" Sunni mencium tangan suaminya lalu pergi mengajar.

Di dalam perjalanan Sunni banyak berfikir, selama 4 bulan dia menikah dengan Budi, selama itu pula Sunni merasa hidupnya semakin berat. Semua janji-janji yang dahulu pernah Budi ucapkan rasanya hanya bohong belaka. Buktinya, hampir semua kebutuhan rumah tangga Sunni yang memenuhinya. Andai saja Sunni hanya mengandalkan gaji dari mengajarnya di sekolah, tentu saja semua itu tidak akan cukup. Untuk menutup kekurangannya dia harus mengajar anak-anak les tambahan lagi di sore hari.

Sesampainya di sekolah, Sunni sudah disambut oleh beberapa anak muridnya yang kebetulan masuk lebih pagi karena harus piket kebersihan. Sunni memandang suasana sekolah yang begitu hijau karena banyaknya tanaman yang bergantung menghiasi pagar sekolah, belum lagi bunga-bunga yang di dalam pot, mereka bermekaran dengan cantiknya. Sunni menyukai pemandangan ini, bisa membuat hatinya sedikit lebih tenang setelah bertengkar dengan suaminya pagi ini.

Begitu kakinya mulai melangkah di halaman sekolan, anak-anak terlihat sibuk menyapu di depan kelas masing-masing.

"Selamat pagi anak-anak" sapa Sunni.

"Selamat pagi Ibu Sunni" mereka dengan kompak menyahut sapaan dari ibu guru favorit mereka.

Sunni tidak hanya cantik, tapi dia juga lembut dan penyabar. Semua anak menyukai Sunni.

"Ibu ke kantor dulu ya, yang semangat bersih-bersihnya" ucap Sunni sambil mengkat kedua tangannya ke udara.

"Iyaa bu, kami semangat!" Jawab mereka.

Sunni meletakan tas dan beberapa barang bawaanya di atas meja dan mulai membuka buku pelajaran. Dia sudah menyiapkan materi pembelajarannya dari rumah dan sekarang dia harus membawanya ke dalam kelas.

.
.
.

Sudah pukul 2 siang, dia harus segera pulang dan menyiapkan makan malam sebelum dia berangkat mengajar les. Apalagi tadi pagi ada beberapa bumbu dapur yang habis, jadi dia harus membelinya di warung terlebih dahulu.

Dengan tergesa Sunni mengendarai sepeda motornya. Begitu dia sampai rumah, dia meletakkan barang bawaan lalu mengganti baju dengan daster kebanggaannya dan segera pergi ke warung Mpok Rani di depan gang.

Cukup 5 menit bagi Sunni untuk sampai di warung yang ternyata lagi ramai oleh ibu-ibu yang sedang membeli sayur dan ngerumpi. Sunni menyapa mereka sekedarnya lalu masuk ke dalam warung Mpok Rani.

"Eh, mau beli apa neng?" Sapa Mpok Rani begitu melihat Sunni datang.

"Mau beli bumbu dapur, mpok yang lengkap ya. Ada kan?"

"Ada dong. Warung mpok kan lengkap. Mau berapa bumbunya?"

"5 ribu aja, mpok. Kalau banyak-banyak takut busuk" sahut Sunni sambil memilih beberapa ikat kangkung.

"Oke. Oya, suami kamu itu punya sodara, Sun?" Tanya Mpok Rani sambil membunngkus bumbu pesanan Sunni.

"Ada, mpok. Adenya cowok, satu. Masih kuliah" jawab Sunni sambil menyerahkan 1 ikat kangkung. Sunni tak curiga apapun atas pertanyaan dari Mpok Rani karena memang dia dan suaminya adalah penghuni baru di komplek ini. Jadi wajar lah mereka ingin tahu sedikit tentang keluarganya.

"Owh.... " Mpok Rani menggaruk tengkuknya.

"Kenapa, mpok?"

"Nggak apa-apa. Cuman, itu Sun. Emm, tadi pagi mpok kan ke pasar terus ketemu Budi, suami kamu boncengan ama cewek"

Sunni terkejut tapi dia berusaha menutupinya, "owh, gitu ya, mpok"

"Hehe... iya, Sun. Maaf yak jadi cerita. Mpok kan mau tau aja, siapa tau kan itu sodara dari Budi"

Sunni tersenyum tipis, "mungkin temen kerja kali, mpok. Mas Budi kan kerja bagian marketing di perusahaannya jadi banyak temen kerjanya cewek, mpok"

"Owh, bisa jadi juga yak. Hehe"

"Ya udah, berapa ini, mpok?"

"Bumbu sama kangkung ya 1 iket. 7 ribu aja. Kaga beli lauknya sekalian? Itu ada ikan laut noh"

Sunni menggeleng, "stok ikan masih ada, mpok. Besok-besok aja belinya" Sunni menyerahkan uang 7 ribu pada Mpok Rani dan langsung berpamitan.

Dalam perjalanan pulang hati Sunni mulai bertanya-tanya siapa kah perempuan itu. Apa benar teman sekantor Mas Budi?
.
.
.

Selamat malam...
Saya hadir bawa cerita baru.. semoga bisa membangkitkan mood nulis aku lagi dan semoga kalian suka.
Jangan lupa kasih ☆ dan komen yaa boss kuu 😚

Banjarbaru, 20 Nov 2018

SUNNI (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang