Prolog

19 9 1
                                    

Di depan pintu cokelat yang sudah terbuka lebar, Zarina berdiri gamang. Sedikit ragu menghampirinya, meski sudah diyakinkan oleh pemuda di sisinya.

"Jangan takut, Mama gak gigit kok." Begitu kata pemuda yang sudah menjadi kekasihnya sejak 2 bulan lalu itu dengan nada bercanda.

Senyuman berat Zarina persembahkan. Kepalanya menunduk mengiringi langkahnya yang perlahan memasuki area rumah.

Nyaman dan tenang.

Itulah hal pertama yang Zarina rasakan di dalam rumah sederhana bercat hijau ini. Semua benda ditata rapi. Sangat sempurna. Membangkitkan sedikit rasa cemas dalam diri Zarina; takut jika tidak bisa memberikan yang terbaik untuk calon keluarga barunya ini.

"Assalamualaikum, Ma! Mama!" teriak pemuda bernama Hasan itu. Sebelumnya, ia mempersilakan Zarina duduk dengan nyaman, kemudian masuk ke bagian dalam rumah untuk mencari keluarga terakhirnya di dunia; wanita yang selalu ia panggil 'mama'.

Tidak ada hal pasti yang bisa dikerjakan Zarina selain menunggu dan memilin ujung jilbab biru mudanya. Pandangan matanya hanya tertuju pada tiga objek; lorong yang menghubungkan ruang tengah dan bagian dalam rumah, benda-benda di sekitar, dan tangan lembapnya.

Tak lama setelahnya, terdengar suara langkah kaki teratur. Zarina semakin dilanda was-was. Berulang kali, ia berusaha mengendalikan diri, tetapi berakhir dengan cemas yang semakin tidak terbendung.

"Ini calon istri kamu, Hasan?"

Itulah kalimat pertama yang Zarina dengan dari wanita yang sudah membesarkan kekasihnya itu. Terdengar sinis, dan merendahkan. Zarina menggeleng sekali, merasa bahwa ini hanyalah perasaannya saja.

Dorongan kecil dari dalam diri Zarina memerintahkan agar ia segera bangkit dari posisi duduk dan segera menghampiri mama Hasan. Ia berusaha memasang senyuman manis, meski a akhirnya yang terbentuk hanyalah seringaian kikuk.

"Assalamualaikum, Tante," sapa Zarina. Ia mengulurkan tangan, dengan kepala tertunduk. Beberapa saat, ia menanti dengan harap-harap cemas karena mama Hasan tidak langsung menerima uluran tangannya.

Hanya satu detik, mama Hasan membalas uluran tangan Zarina. Itu pun, ia langsung menepuk-nepuk tangannya seolah baru saja memegang kotoran.

"Agak berdebu," gumamnya lirih.

Hasan menyadari adanya suasana tegang antara kedua wanita yang ia cintai. Sedikit tertawa, Hasan kemudian menuntun kedua wanita itu duduk di atas sofa.

Untuk beberapa menit, sunyi mengisi suasana. Lagi, Hasan berusaha mencairkan ketegangan yang ada.

"Mau minum apa, Zarina?" tanya Hasan sembari memberikan senyuman manis saat Zarina melirik padanya.

"Terserah, Mas," jawab Zarina, dengan senyuman tipis untuk membalas tatapan penyemangat dari Hasan.

Selepas kepergian Hasan, semakin tidak nyaman yang Zarina rasa. Di tempatnya duduk,  ia bergerak gelisah. Apalagi saat menyadari bahwa mama Hasan terus memperhatikannya.

"Kamu masih gadis?"

Mendengar pertanyaan demikian dari mama Hasan, sontak Zarina menengadah. Ia menelan ludah dengan begitu sukar.

Namun, hanya sesaat Zarina menatap wanita paruh baya itu, karena selanjutnya ia hanya menunduk. Memilih bungkam daripada menjawab.

Entah karena apa, mama Hasan tidak lagi bertanya, dan itu membuat Zarina semakin takut. Dalam hati, ia merasa jika dirinya akan ditolak oleh calon mertua, meski sisi lain hatinya berharap tidak.

Sulit menemukan pemuda baik seperti Hasan.

Mama Hasan tetap bungkam, meski Hasan sudah datang dan memberikan beberapa informasi mengenai Zarina. Entah mengapa. Ia tampak tidak tertarik bertanya sedikitpun.

Zarina gelisah.

* * * * *

Hasan hanya dapat mengantarkan Zarina sampai di depan pintu rumah, atas perintah mamanya.

"Maafin Mama, ya? Mama emang gitu orangnya," ucap Hasan dengan wajah mendekat, "OCD."

"OCD?" Zarina bertanya.

Mulut Hasan sudah terbuka hendak menjawab, tetapi panggilan dari dalam menghentikan keinginannya.

"Hasan, beliin Mama sabun cuci tangan di warung. Ini udah habis." Demikian teriak mama Hasan dari dalam rumah.

"Intinya, Mama itu super bersih. Supaya a jadi menantu Mama, kamu juga harus bersih. Gak boleh kotor sedikitpun," kata Hasan. "Assalamualaikum."

"Wa alaikum salam," balas Zarina dengan lirih.

Super bersih?

Jadi maksud wanita tadi hanya berjabat tangan dengan Zarina selama beberapa detik, karena mengira Zarina itu kotor?

Apa sebegitu jijiknya wanita tadi, sehingga harus cuci tangan setelah menyentuh telapak tangan Zarina?

Dengan kepala tertunduk, Zarina berjalan pelan, sambil memikirkan dua hal tentang masa depannya.

Pertama, berhenti. Putuskan Hasan, lalu mencari pemuda lain.

Namun, apa di zaman sekarang masih ada yang ingin memperistri wanita dari panti asuhan yang kadar kecantikannya di bawah rata-rata, dan tidak memiliki kekayaan yang melimpah?

Kedua, lanjutkan. Berusaha memperbaiki citra dirinya di hadapan mama Hasan.

Namun, apa mungkin ia bisa bertahan dengan mertua yang dinginnya seperti mama Hasan?

* * * * * *

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ahlan Wa Sahlan ZaujatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang