Baru dua minggu Alanis duduk di kelas XII, kini teman-teman di kelasnya itu sudah membuat grup whatsapp. Dalam sehari saja, ada ratusan pesan yang seringkali Alanis malas membacanya. Obrolan receh yang tidak penting menurutnya. Bukan membahas pelajaran atau ekstrakurikuler di sekolah. Siapa lagi yang jadi juara dalam obrolan tersebut kalau bukan Prissa dan David. Kedua orang itu mendominasi. Ada pula Alex dan Cindy, sahabat kental Prissa. Evelyn dan Kayonna juga tak kalah aktif dalam banyolan mereka. Serta teman-teman yang lain. Hanya Adam dan dirinya yang belum pernah nimbrung sekalipun Evelyn dan Kayonna sering menyebut namanya.
Untuk mengatasi kebisingan, dibisukannya saja grup tersebut. Dia hanya membaca kalau lagi suntuk saja, supaya dia bisa tertawa lagi membaca obrolan absurd itu. Tapi meskipun dibisukan, tanda notofikasi itu tetap ada. Mau tidak mau Alanis harus membukanya. Seperti pula sabtu sore ini.
Tidak ada yang dilakukannya selain menelungkup di tempat tidur, mengunyah cemilan dan membaca obrolan yang menarik rasa ingin tahunya.
Alanis meletakkan ponselnya. Malas membaca percakapan mereka lebih banyak lagi. Cukup satu info saja yang perlu dia tahu. Beberapa dari teman sekelasnya akan bermalam minggu di Nyx, sebuah klub malam yang pernah disebut Kayonna beberapa waktu lalu. Tanpa persetujuannya sekalipun, Kayonna sudah menyebut namanya akan datang ke sana. Mau tidak mau dia harus ikut. Dia tidak mau ketinggalan acara dengan teman-temannya. Apalagi ada si keren David. Ya, meskipun di sana bisa dipastikan David akan lebih merenteti Prissa. Tapi dari pada berdiam diri di rumah, lebih baik dia ikut saja.
Tepat pukul delapan malam, terdengar deru mobil Kayonna di depan rumahnya. Sebelumnya mereka telah janjian melalui grup yang mereka buat sendiri. Jadi Alanis sudah tahu dan bersiap-siap pukul berapa Kayonna akan menjemputnya.
“Kita pulang jam berapa nanti?” tanya Alanis ketika baru saja duduk di jok belakang.
“Yaelah, belum juga keluar dari kompleks, udah tanya pulang jam berapa.” Kayonna berdecak malas.
“Bokap cuma ngizinin gue sampai jam sebelas.”
“Hah??? Jalan ke sana aja butuh setengah jam bebeb Alanis.” Evelyn menoleh ke belakang. “Bokap lo kayak nggak pernah muda aja. Masa anak udah di akhir sekolah masih dipingit mulu.”
“Itu namanya sayang anak, bego.”
“Teyus, gimana lo bisa deketin David kalau lo nggak ada waktu buat bareng dia? Lo kira David bakal noleh ke lo tanpa lo ngelakuin sesuatu, gitu?”
“Masalah itu gue nggak bisa bandingin sama aturan bokap gue, Eplin nyang unyu tapi ngebosenin,” balas Alanis dengan suara menye-menye. Tapi kemudian dia melengos sebal.
Evelyn mengibaskan sebelah tangannya kemudian menatap lurus ke depan kembali. Tubuhnya bergoyang ringan seiring dengan lagu Maroon 5 dari audio mobil. Kayonna dan Alanis ikut menyanyi saat lagu sugar sampai pada reff.
“Eh, kita udah sampe nih. Palingan anak-anak udah pada di dalem. Tuh mobil David,” tunjuk Kayonna ketika memasuki area parkir.
Mereka bertiga segera turun dan memasuki klub tersebut dengan leher yang dipanjangkan untuk mencari di mana teman-temannya berkumpul. Alanis yang masih belum terbiasa dengan asap rokok, menutup mulutnya dengan tangan. Sebenarnya dia sudah beberapa kali kemari bersama dua temannya. Sayangnya dia masih kesulitan beradaptasi dengan asap rokok yang membuatnya terbatuk dan sesak. Dia juga perlu menyesuaikan mata dan telinga mendengar suara dentuman musik yang menghentak dan penerangan yang remang-remang.
“Itu mereka!” seru Evelyn antusias, kedua tangannya menarik tangan Kayonna dan Alanis bersamaan.
“Lo kira gue anak TK yang masih perlu dituntun.” Kayonna mengibaskan tangannya dari genggaman Evelyn. Dia berjalan lebih dulu dan ber-tos dengan teman-temannya yang datang lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eleventh
Teen FictionAlanis melakukan berbagai upaya untuk menghalangi siapa pun yang akan mencelakai kakaknya, dari dendam beberapa orang akibat ulah kakaknya sendiri. Keterlibatannya dalam masalah itu, menyeretnya untuk mencari tahu siapa otak dari semua peristiwa yan...