“Gercep lo!” Suara lantang Kayonna mengejutkan Alanis saat gadis itu sedang tertelungkup di atas tempat tidurnya.
Sudah kebiasaan mereka untuk berkumpul di rumah Alanis. Selain karena rumah Alanis paling dekat dengan sekolah, juga karena rumah Alanis sepi. Papa Alanis bekerja sampai malam. Hanya ada asisten rumah tangga yang pulang pukul tiga sore setelah memasak dan membersihkan rumah.
“Kalian ngagetin gue aja.” Alanis bangkit untuk duduk. Dia melihat Evelyn melemparkan tas punggungnya kemudian melemparkan diri di samping Alanis.
“Sekarang bilang, gimana lo bisa secepat itu ngegaet David?” Kayonna bertanya menuntut. Gadis itu membuka sepatunya dan bersiap untuk mencuci tangan di kamar mandi yang tidak ditutup pintunya.
“Gue juga nggak ngerti awalnya gimana. Tapi sepulang gue dari klub kemarin malam, David ngirimin gue pesan.”
“Sampai jam satu malem?” Evelyn mendongak ke samping Alanis.
“Kok lo tahu?” Wajah Alanis pias. Walaupun mereka sedang taruhan, tidak seharusnya kedua temannya itu tahu apa saja yang terjadi pada dirinya dan David.
“Lo mungkin lupa kalau gue ada di belakang kalian waktu kita di ruang ganti.”
“Jadi kalian udah sedekat itu?” Kayonna yang baru keluar dari kamar mandi membeliak heran. “Sumpah, gue heran. Apa yang sih yang udah lo lakuin?”
“Gue nggak ngelakuin apa-apa. Gue aja pulang bareng Adam.”
Di sampingnya, Evelyn termangu seperti sedang berpikir. Mengingat penggalan-penggalan kejadian yang telah mereka lalui sejak berada di klub itu. Dia mencoba menerka arti wajah David di setiap obrolan yang telah berlalu. Dan ada sebuah kecurigaan yang sedikit mengganggu pikirannya hanya saja dia belum mau mengungkapkan. Dia mensugesti dirinya sendiri, mungkin itu hanya perasaan gue aja.
“Dan tunggu dulu, bersamaan lo dekat sama David, Adam menjauh dari lo. Ini bener-bener kayak teka-teki deh. Mana mungkin David deketin lo padahal lo nggak ngelakuin apa-apa.”
“Udah deh, sekarang berhenti mikirin itu. Lebih baik mikir gimana cara lo buat narik perhatian David,” ucap Evelyn malas sambil memejamkan mata.
“Eh, tumben lo nggak semangat. Biasanya lo yang paling bawel.”
“Gue capek.”
“Lo capek apa sih? Lagak lo kayak udah ngepel lantai rumah aja.” Alanis berucap gemas.
“Gue lagi mikirin gimana caranya biar David deketin gue? Gue kan nggak mau kalah dari lo. Lagian dengan uang sepuluh juta, gue bisa beli baju-baju baru.”
“Emang rambut lo udah nggak laku lagi dijual?” Kayonna menimpali.
“Bulan depan gue ada shooting iklan mie instan.”
“Wah, keren. Pasti banyak duit lo. Gitu masih ngarepin duit dari kita-kita.” Alanis beranjak dari tempat tidurnya ketika ponselnya berdering di atas meja belajarnya.
“Bukan itu tujuan utama gue. Gue beneran naksir David. Tadi aja liat lo jalan bareng David, gue cemburu berat.”
Kayonna tertawa terbahak-bahak. Berbeda dengan Alanis yang justru kehilangan senyumnya. Timbul keyakinan dalam diri Alanis bahwa Evelyn betul-betul cemburu, bukan hanya bercanda.
“Eh, lo udah kayak cewek yang jatuh cinta aja sama si David.” Kayonna berucap di sela-sela tawanya yang berderai.
Memang iya, jawab Evelyn dalam hati. Sayangnya Kayonna tidak peka dengan perubahan wajah Evelyn. Hanya Alanis yang merasakan perubahan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eleventh
Teen FictionAlanis melakukan berbagai upaya untuk menghalangi siapa pun yang akan mencelakai kakaknya, dari dendam beberapa orang akibat ulah kakaknya sendiri. Keterlibatannya dalam masalah itu, menyeretnya untuk mencari tahu siapa otak dari semua peristiwa yan...