Hari sabtu pada akhir bulan oktober, siswa SMA Bina Bangsa disibukkan dengan kegiatan ekstrakurikuler. Sekolah yang pada hari biasa sepi karena para siswa serius menghadapi pelajaran di kelas, kini menjadi ramai di tiap-tiap stand ekstrakuriker dan di tiap lapangan.
Alanis meneguk air mineral setelah mengikuti kegiatan jurnalistik. Dia ingin beristirahat dengan Kayonna namun gadis itu masih bersemangat bertanding di lapangan basket. Sedangkan Evelyn masih berkutat di ruang teater. Tinggal dirinya sendiri yang bingung harus menghampiri siapa.
Dia terus melangkahkan kaki melewati lapangan basket dan lapangan bola. Di dekat lapangan bola itu terdapat taman di halaman belakang sekolah. Ada beberapa pohon besar yang bernaung di sana, menjadikan tempat tersebut sejuk dan asri.
Alanis terus melangkahkan kaki ke sana karena memang ingin menyendiri sambil menunggu dua temannya. Dia ingin duduk di bangku panjang di bawah pohon. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat seseorang duduk santai sambil bersandar di pohon tersebut.
Gadis itu tahu bahwa orang itu adalah Adam. Untuk saat ini, dia belum ingin bertemu empat mata dengan Adam karena kejadian di kantin kemarin. Ada rasa canggung jika bertemu dengan Adam. Jadi dari pada perasaan bersalahnya kembali hadir, lebih baik dia menghindar saja.
Alanis mundur supaya Adam tidak menyadari kehadirannya. Sayangnya baru satu langkah mundur, dia menginjak ranting kering sehingga menimbulkan suara. Seketika Adam menoleh padanya. Jantungnya berlompatan tidak keruan.
Mata mereka bertemu. Saat itulah Alanis tahu bahwa Adam sedang merokok. Keinginannya untuk pergi menjadi lebih kuat. Dia tidak suka cowok perokok.
Melihat kehadiran Alanis, Adam membuang rokoknya kemudian menginjaknya. Cowok itu lantas berdiri menghadap Alanis.
"Duduk sini, Al."
Alanis terlihat bingung untuk mencari alasan pergi. "Gue tadi mau cari udara seger."
"Udah sini aja, temeni gue."
Logikanya berkata dia tidak mau menemani cowok itu. Tapi langkahnya tidak bisa diprogram. Kaki itu seolah melangkah sendiri menghampiri Adam kemudian duduk hati-hati.
"Lo ngerokok?" tanya Alanis setelah Adam duduk di sampingnya.
Adam mengangkat sebelah bibirnya. "Gue lagi suntuk aja."
"Lo udah terbiasa ngerokok?"
Adam menoleh. Merasa diamati, Alanis ikut menoleh. Kini mereka berpandangan, dan lagi-lagi Alanis dibuat resah olehnya. Kenapa tatapan cowok itu bikin aku nggak konsen?
"Gue ngerokok kalau lagi suntuk aja, Al." Adam mengulang perkataannya lalu menyunggingkan sebelah sudut bibirnya. Dia tidak mau Alanis berpikiran buruk tentangnya. "Lo nggak suka cowok ngerokok?"
Alanis menggeleng cepat, membuat senyum Adam semakin mengembang. Sejak awal gedoran di dadanya tidak mereda. Apalagi sekarang saat Adam duduk terlalu dekat dengan dirinya dan tersenyum melihat keengganannya.
"Jadi sekarang semakin banyak alasan yang bikin lo nggak suka sama gue."
Alanis menoleh menatap cowok itu. "Gue nggak pengin bahas ini, Dam. Bukannya kemarin lo sendiri yang bilang kalau lo nggak akan maksa lagi?"
"Gue emang nggak akan maksa lagi. Gue cuma baru nemuin fakta kalau emang gak ada yang lo suka dari diri gue."
Alanis terdiam. Dari awal bersekolah di SMA, dia tidak pernah membatasi diri bergaul dengan teman model apa pun. Dia juga tidak menghalangi diri untuk tidak pacaran. Masa remaja di SMA yang hanya berlangsung tiga tahun, ingin digunakannya dengan sebaik mungkin. Bukan hanya dalam hal pelajaran, tapi juga dalam menambah teman dan menjalin kasih untuk memulai kehidupan remaja yang lebih berarti. Hanya saja, mencari cowok yang pas di hati tidak semudah dugaannya. Dan sekalinya ada yang tertarik padanya, tidak masuk dalam seleranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eleventh
Teen FictionAlanis melakukan berbagai upaya untuk menghalangi siapa pun yang akan mencelakai kakaknya, dari dendam beberapa orang akibat ulah kakaknya sendiri. Keterlibatannya dalam masalah itu, menyeretnya untuk mencari tahu siapa otak dari semua peristiwa yan...