Evelyn mengikuti David saat cowok itu memasuki toko buku. Bukan kebetulan dia menguntit David. Gadis itu tidak sengaja mendengar pembicaraan David dengan Alex bahwa David akan mencari komik favoritnya sepulang sekolah. Evelyn berpikir ini menjadi salah satu kesempatan untuk mendekati cowok itu. Dia tidak ingin kalah langkah dari Alanis. Meskipun dia heran bagaimana mungkin David dengan mudah menyapa Alanis melalui pesan. Apakah karena Kayonna yang mengatakan kalau Alanis menghindari kehidupan malam?
Evelyn menggelengkan kepala karena menurutnya itu pemikiran yang tidak masuk akal. Hanya terlintas begitu saja di kepalanya. Rasanya tidak penting juga untuk dipikirkan. Sekarang lebih baik dia harus mendekati David dengan caranya sendiri.
Evelyn menarik napas panjang sebelum memasuki toko buku tersebut. Dia mulai bersikap santai seolah-olah tidak tahu keberadaan David. Padahal jujur saja, Evelyn tidak hobi membaca. Membaca satu lembar saja matanya sudah menutup rapat, ngantuk. Tapi demi mendapatkan David, apa pun akan dilakukannya.
Deret pertama yang didatanginya adalah deretan novel remaja. Dia membuka lembar demi lembar dengan mata melirik ke arah David yang serius memilih judul yang disukanya. Dengan sadar, langkah gadis itu semakin mendekati David. Dia mengambil buku kemudian diletakkan kembali. Mengambil lagi dan diletakkan lagi. Begitu seterusnya sampai dia berdiri di samping David.
“Lo, Ev?” sebuah suara yang telah dinantikannya sekian lama akhirnya didengarnya juga. Evelyn menoleh dengan wajah polos.
“David?” Evelyn tersenyum lebar. “Lo di sini juga?”
“Kebetulan kita ketemu.”
“Iya, cari buku apa?”
“Cari komik yang belum gue punya. Tapi kayaknya udah nggak ada deh.”
“Oh, ya? Apa judulnya?” Evelyn ikut melihat komik-komik yang menurutnya aneh.
“Another.”
Mereka masih terus mengobrol dan terakhir David mengajaknya makan siang bersama. Evelyn belum sempat menjawab ketika seseorang tiba-tiba datang dan menggamit lengan David.
***
“Prissa sialan! Prissa brengsek!” umpat Evelyn di depan Alanis dan Kayonna. “David udah mau ngajakin gue makan bareng, tapi si perek tiba-tiba aja dateng tanpa diundang. Jadi gagal rencana gue.”
Bukannya bersimpati, Kayonna tertawa terbahak-bahak. “Kasian banget sih lo. Makanya gercep dong, jangan ditahan-tahan kayak begitu. Lo sih kebanyakan gaya pake malu-malu segala. Deg-degan pula. Udah kayak bocah SD yang baru dideketin cowok.”
“Sumpah, Yon. Lo belum tahu gimana rasanya sedeket itu sama David. Lo nggak akan bisa konsen. Dia ganteng banget. Matanya lembut. Senyumnya bikin gue teler. Dan dia wangi.”
Alanis yang dari tadi belum merespon, memikirkan kata-kata Evelyn. Evelyn benar, melihat David dari jauh beda rasanya dengan berdekatan dengan cowok itu langsung. Pesona David terlalu memukau. Alanis juga membenarkan kalau dirinya terpesona sampai tak tahu harus berucap apa.
“Eh, lo kenapa diem, Al? Cemburu?” Kayonna melihat Alanis seperti melamun.
“Nggak. Gue setuju sama yang dibilang Evelyn. Berada di deket David emang beda banget rasanya. Dag dig dug jadi satu.”
“Kok jadi penasaran ya. Kayaknya gue juga harus ambil tindakan nih.”
“Gue ingetin, Yon. Kalau lo mau deketin David, pastiin dulu nggak ada Prissa di deket lo.” Evelyn mengucapkannya dengan kekesalan yang belum reda.
“Tapi gue bingung juga, kenapa mereka nggak jadian aja kalau saling suka?”
“Nah, itu yang gue bingung.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eleventh
Teen FictionAlanis melakukan berbagai upaya untuk menghalangi siapa pun yang akan mencelakai kakaknya, dari dendam beberapa orang akibat ulah kakaknya sendiri. Keterlibatannya dalam masalah itu, menyeretnya untuk mencari tahu siapa otak dari semua peristiwa yan...