29, Kemarahan Jungwoo.

3.2K 565 6
                                    

Satu tahun sebelum kepergian Jungwoo ke Jepang.













"Jungwoo."

Malam itu, papanya memanggil ketika Jungwoo baru saja melewati ruang keluarga, tempat dimana papanya memanggil. Di samping papanya, juga ada mamanya yang menatap dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan.

Sebagai anak tunggal yang baik, dia langsung menghampiri kedua orang tuanya dan ikut duduk di hadapan mereka.

"Kenapa pa?"

"Kamu harus berhenti belajar tentang teknik, mesin, dan lain-lain." Kata-kata yang keluar dari mulut papanya membuat Jungwoo keheranan. jurusan yang ia sukai, ditentang oleh orangtuanya.

"Tapi, itu kan pilihan Jungwoo pa."

Kali ini mamanya yang berbicara, "ada baiknya kamu masuk jurusan psikolog, biar papa kamu bisa melanjutkan usaha papa kalau misalnya papamu pensiun nanti." pikir Jungwoo, pantas saja mamanya membela. Karena mamanya juga seorang dokter. Dokter bedah lebih tepatnya.

Jungwoo kesal, apa seorang anak harus mengikuti jejak orangtuanya? Apa dia tidak bisa memilih jalannya sendiri?

"Aku pikirin lagi ma, pa." laki-laki itu berdiri dan berniat untuk kembali ke kamarnya, tapi papanya menahan dengan kata-katanya.

"Nggak ada yang perlu di pikirin, kamu harus belajar tentang psikolog. Nggak ada penolakan."

Jungwoo terpaku pada posisinya. Papanya berdiri lalu menepuk pundaknya dan meninggalkannya layaknya ayah yang sangat sayang pada putranya. Tapi sayang, Jungwoo sudah tidak merasakan kasih sayang ayahnya lagi sejak saat itu. Diikuti dengan mamanya yang memeluknya sambil mengatakan, "maaf sayang." lalu menyusul papanya.

Kalau sudah seperti ini, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Melawan? Tidak ada gunanya. Papanya tidak akan meladeni rasa penolakan Jungwoo.

Dia mengetikan sesuatu di ponselnya dan mengirim pesan ke seseorang.

Saat ini ada orang yang benar-benar ia butuhkan,

"Aira."

•••

Di malam yang sama, sepasang kekasih itu bertemu di taman bermain yang tidak jauh dari rumah keduanya.

Mereka duduk di bangku taman yang disediakan disana, dengan Aira yang memegang dua kaleng kopi.

"Nih." dia memberikan satu kalengnya ke Jungwoo yang berada di sebelahnya.

"Makasih." Jungwoo menerima kopi yang diberikan kekasihnya, bukannya diminum tetapi ia letakkan di sampingnya yang kosong.

Aira yang masih memegangi kaleng kopinya menyadari keadaan Jungwoo. Dia tahu, sesuatu pasti telah terjadi.

"Kamu kenapa?" gadis itu mengambil tangan Jungwoo yang lebih besar dari tangannya lalu mengelusnya perlahan guna untuk memberikan rasa tenang.

"Papa mama, nggak ngijinin aku lanjut di jurusan teknik."

Aira sedikit terkejut mendengar hal itu. Dia tahu bahwa Jungwoo sangat mengimpi-impikan jurusan pilihannya itu. Dia tidak bisa melakukan apa-apa karena dia memang tidak punya hak atas itu.

Padahal sangat disayangkan, Jungwoo akan naik ke kelas sebelas, mau tidak mau harus mengulang kelas sepuluh karena jurusan yang berbeda.

Aira menghela nafasnya pelan, "sabar ya, mungkin kamu memang nggak ditakdirin di jurusan itu." dia memeluk Jungwoo dan mengelus punggungnya sebentar dan beralih ke tangan laki-laki itu. "Kamu pasti bisa."

Tidak, Jungwoo tidak menangis. Dia hanya- marah? Ia marah dalam diam. Ya, itulah Jungwoo.

Tin!

Suara klakson mobil memecah keheningan mereka, si pemilik mobil, Lee Taeyong.

"Ah, kamu nggak mau pulang? Biar aku sama kak Taeyong antar ya?"

Jungwoo menggeleng, "nggak usah, kamu duluan aja." Dia mengantarkan Aira ke posisi mobil Taeyong yang tidak terlalu jauh di posisi mereka sekarang. Mereka berjalan tidak lupa membawa kaleng kopi masing-masing yang masih utuh.

Sampai di samping mobil Taeyong, Jungwoo pamit ke Aira maupun kakaknya.

"Kamu langsung tidur ya, maaf udah manggil buat ketemu malam-malam gini."

Aira hanya tersenyum, "gapapa, good night Jungwoo."

Jungwoo terkekeh dan mengacak rambut Aira, "kamu juga." Aira langsung naik mobil dan duduk di samping Taeyong.

"Kamu ga mau bareng aja Woo?" tawar Taeyong yang siap-siap menyalakan mobilnya.

"Nggak usah kak, duluan ya. Maaf ganggu Adeknya malam-malam."


•••

Kemarahan Jungwoo tidak sampai disitu. Begitu ia pulang ke rumahnya, disambut mamanya yang duduk di ruang keluarga.

"Jungwoo, mama mau ngomong."

Mungkin hal yang akan dibenci Jungwoo saat namanya dipanggil dari ruang keluarga rumahnya.

"Kenapa ma?"

"Setelah setahun kamu mengulang di jurusan psikolog disini, kita berdua pindah ke Jepang."

Ada apa dengan harinya? Kenapa sangat mengesalkan seperti ini? Dan, kenapa hanya dirinya dan mamanya yang pindah ke Jepang?

COMFORT VOL.01✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang