"Mas, ini kopinya." Gue meletakkan kopi yang baru kuseduh di atas meja.
"Makasih ya, Sit." Pria itu tersenyum pada gue menyambut kopi yang baru terletakkan di hadapannya, lalu menyesapnya.
Mas Joko memang sudah menjadi langganan tetap di warung kopi milik gue, ia tak pernah absen seharipun untuk sekadar mampir menyuruput kopi buatan gue.
"Kopi loe memang paling top, Ti. Apalagi sambil mandangin wajah loe yang ayu, bikin rasa yang pahit jadi manis." Rayunya pada gue. "Coba istri gue secantik lu." Ujarnya. Nayris gue tersipu dibuatnya.
"Emang istrinya kenapa, Mas?" tanya gue sedikit manja.
"Dia itu hari-hari selalu aja bau asem, pake baju selalu dasteran, kucel. Gak bisa dandan. Padahal bedak sama liptsik selalu beli tiap ke pasar. Pokoknya, gak kayak lu deh, Ti. Cantik, wangi lagi." Tambahnya.
"Ah, masa sih, Mas?"
"Iya, gak bohong deh."
"Siti memang paling top. Kalau aja bini gue kayak lu, Ti. Beuuhhh! Hari-hari bakal gue turuti kemauannya." Saipul datang dan langsung duduk di kursi panjang di samping Joko. "Kopi satu, Ti. Gak usah terlalu manis. Kan sudah ada eneng Siti yang bikin manis," gombalnya.
"Ah, mas Saipul bisa aja!" Gue makin tersipu mendengar ucapan mereka. 'Dasar lelaki jelalatan' turuk gue dalam hati.
"Ah, ganggu aja lu, Pul," rutuk Joko.
*****
Gue, Siti. Pekerjaan gue sehari-hari hanyalah menjaga warung kopi yang terletak di pinggir jalan di desa, setiap pagi gue membuka warung, menyusun gelas-gelas bersih di atas meja. Meletakkan beberapa kue basah dan gorengan yang siap dilahap dalam satu wadah sedang, mencari uang hingga menjelang siang, dan menutup warungku saat terik mulai berada tepat di atas kepala, gue tak pernah berdagang sampai sore. Kalau dihitung dari pendapatan, tentulah pendapatan gue perhari tak banyak, tapi setidaknya itulah yang diketahui warga.
Hal itu kadang membuat sebagian ibu-ibu di desa gue heran dengan penampilan gue. Bagaimana bisa gue selalu tampil cantik memesona, bagai artis yang sering perawatan ke salon-salon mahal. Aneh bukan?
"Cih, paling juga kerjanya menjajakan diri kalau sudah malam." Beberapa kumpulan wanita penggosip selalu mencibirku kala gue melintas di hadapan mereka. Dengan tatapan sinis mereka memandang. Gue hanya membalasnya dengan tersenyum. Walau dalam hati selalu bergumam. 'Tunggu saja pembalasan gue.' Begitulah rutuk gue tiap kali mendapat cibiran dari mereka.
Namun pekerjaan gue yang sebenarnya bukanlah itu. Ketika menjelang sore, gue selalu pergi ke rumah kosong dipinggir desa dekat hutan. Rumah yang sudah reot tak berpenghuni yang mungkin sudah belasan tahun itu menjadi tempat bersemayam gue setiap sore. Rumah tempat gue memyembunyikan tubuh yang gue baringkan sebelum akhirnya melepas kepala dan mengeluarkan sebagian organ gue.
Gue selalu keluar petang dan keliaran hingga malam, mendatangi rumah-rumah wanita yang wangi, wangi akan aroma darah janin, juga aroma darah kotor. Bagi gue, aroma itu bagaikan buah yang masak, segar dan nikmat.
Cerita ini diwattpad stop di chapter 10, kelanjutan cerita ada di mangatoon/ Noveltoon dengan judul "Rahasia si Janda Secantik Gadis Perawan"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Janda Bohay
Mystery / ThrillerAku, Siti. Pekerjaanku sehari-hari hanyalah menjaga warung kopi yang terletak di pinggir jalan di desaku, setiap pagi aku membuka warungku, menyusun gelas-gelas bersih di atas meja. Meletakkan beberapa kue basah dan gorengan yang siap dilahap dalam...