Pelan aku bergerak mendatangi tubuhku yang tergeletak di samping motor bebek Juki. Dengan jantung masih sedikit berdebar karena khawatir tertangkap basah oleh komplotan pria bermobil tadi. Segera kusatukan kembali kepala dan tubuhku. Sedikit hawa panas menyeruak kala kumasukkan seluruh organ hingga aku dapat menyentuh kembali leherku.
"Ahh" Kutarik napas dalam. Lalu kembali ku keluarkan dengan kasar. Kini aku sudah dapat berdiri dengan kedua betisku.
Sekarang yang kupikirkan adalah bagaimana caranya aku kembali ke desa? Apa iya aku harus berjalan kaki. Mana jarak jalan poros ini dengan desa cukup jauh. Ah sial!
Dengan terpaksa kuputuskan berjalan kaki. Kuayun kakiku sambil melantunkan lagu sinden untuk sekadar membuang rasa bosan, aku memang menyukai musik alunan sinden. Tak kuhiraukan hawa panas dan dingin dari makhluk halus penghuni hutan di wilayah ini.
Belum sampai lima meter, kembali aku melihat sebuah mobil mendekat. Ahh, mungkin cuma mobil yang kebetulan melintas. Semakin dekat mobil itu semakin pelan. Lalu tiba-tiba berhenti tepat di samping kendaraan bebek milik Juki.
Apa yang mereka lakukan? Apa mungkin mereka ....? Perasaanku mulai tak karuan. Kupercepat langkahku menjauhi mereka.
"Permisi?" Terdengar seseorang meneriakiku. Gawat! Semakin kupercepat langkahku hingga tak kusadari, aku sudah berlari dengan sangat laju.
"Hei-hei! Tunggu!" pekiknya dari arah belakang. Sial! Sepertinya orang ini mengejarku! Apa yang dia inginkan? Oh Tuhan, kali ini apa lagi?"
"Tunggu!" Sebuah tangan berhasil meraih pergelanganku, menarikku. Membuatku tersentak dan spontan tubuhku terputar menghadap ke arahnya.
Kupejamkan mataku, takut jika ternyata ia begal dan membawa senjata tajam atau apapun yang dapat melukaiku.
"Lepaaas!" hardikku sambil menghempaskan genggaman tangannya. Ia pun terlonjak.
"Mbak, Mbak! Jangan takut. Saya gak niat jahat kok!" tuturnya.
Kubuka mata perlahan. Seorang pria muda dengan napas setengah ngos-ngosan tengah berdiri di hadapanku. Dengan wajah cemas ia menatapku lekat.
"Mbak gak apa-apa?" tanyanya. Aku tak menjawab. Masih diam mematung.
"Mbak ngapain malam-malam sendirian di tempat begini?"
"A-ah anu ... aku!" Aku bingung, entah harus menjawab apa.
"Ya sudah. Nanti saja jawabnya. Mbak mau saya beri tumpangan?" tawarnya padaku.
"Ah-iya!" Aku spontan aku mengucapnya. Sebenarnya tak terlintas di otakku untuk menjawab iya. Hanya saja, kata-kata itu keluar sendiri dari mulutku. "Aduuh, apaan sih!" gumamku. Kubenturkan pelan kepalaku dengan sebelah tangan.
"Kenapa, Mbak?" tanyanya sedikit heran.
"Ah, gak apa-apa!"
"Oh-Mari, Mbak," ajaknya.
"Hmm." Aku mengangguk. Ia pun mempersilahkanku berjalan di hadapannya. Antara bingung dan khawatir tapi tetap kuikuti ajakannya, benarkah pria ini berniat tulus menolongku?
"Mas, kok mau nolongin saya? Mas gak takut?"
"Takut apa, Mbak? Justru saya kasihan sama Mbak sendirian di tengah malam begini. Mana gelap lagi."
Ya Tuhan, belum pernah aku bertemu pria sebaik dia, baru kenal tapi langsung peduli tanpa memikirkan asal usul dan identitasku. Bisa saja kan aku makhluk astral. Ehh ngomong apaan sih aku ini?
Aku tersentuh dengan sikap tulusnya. Berulang kali kutatap wajahnya, membuatnya menggaruk bagian kepalanya.
"Kenapa, Mbak. Kok natap saya terus, ada yang salah?" tanyanya sambil tertawa
terpaksa. Nyengir."Ah enggak, Mas."
"Hmm." Kembali senyum terpaksa ia lontarkan padaku. Sial kenapa pasang senyum terpaksa gitu sih! Aku hanya bisa menggerutu dalam hati.
Kulihat ketiga temannya menatap lain padaku.
"Adrian! Lu ngapain sih pake ngajak-ngajak tuh cewek segala."
"Yah elah lu! Tega amat sih ngebiarkan cewek sendirian di tengah malam begini!"
"Ishh." Ia menyenggol pria itu. "Justru itu!"
"Justru itu, apanya?"
"Lu gak ngerasa aneh apa? Tiba-tiba ada cewek sendirian di tengah malam begini."
"Aneh gimana?"
"Ya kalok ternyata dia dedemit, gimana?"
"Ah lu aja mah yang parno-an!"
Aku masih fokus menatap mereka, sambil memasang wajah memelas.
"Hussh, diam lu ah! Gak enak kan kalau didengar sama dia!" Kulihat mereka berempat saling senggol. Entah apa saja yang mereka bicarakan. Tapi dari gerak geriknya sepertinya mereka membicarakanku.
Salah seorang dari mereka mulai menaiki motor bebek milik Juki. "Woy, temenin. Masa iya gua sendirian ngendarain nih motor!" serunya pada kawanannya.
"Loh, Bang, itu motornya mau diapain?" tanyaku.
"Mau ditanggung jawab-in, Neng," sahut pria yang mereka panggil dengan sebutan Adrian tadi, sambil kembali memalingkan wajahnya dari pandanganku. Namun tiba-tiba saja ia terdiam. Membuatku menggumam dalam hati 'Bodoh! Bodoh! Bodoh! Ngapain juga sih aku pake acara nanya hal itu ke mereka! Ahhh'
Si Adrian tadi kembali menghadapkan wajah ke hadapanku. Tampak dari mimiknya hendak mengintrogasiku. "Neng? Eh, Mbak. Eh, Neng aja yah!"
"Mm." Aku mengangguk.
"Sebenarnya, Neng ngapain sih sendirian di sini di tengah malam begini?"
Deg!
'Tuh kan, bener! Dia mau ngintrogasi aku. Duh ... musti jawab apa nih?' batinku mulai berceloteh. Kini tampak jelas rautku yang mulai cemas. Ahh ini semua gara-gara kecerobohanku. Kenapa juga tadi aku musti jawab iya waktu dia tawarkan tumpangan, jadi belibet gini kan? Aiihh!
"Neng?"
"Ah-iya bang!" Aku tersentak kaget.
"Kok bengong?"
"Anuu- tadi itu ....!"
"Apa mungkin Eneng kenal sama pria yang berada di dekat motor tadi?" Spontan mataku menyalak menatapnya. "Jangan natap gitu dong, Neng, cuma nebak aja. Soalnya- tadi- kami gak sengaja nabrak pria itu!" ucapnya lirih.
Sial, ternyata mereka kelompok pria yang nyelamatin Juki tadi. Kini aku semakin grogi. Wah bisa gawat nih urusannya. Aku mulai berpikir keras mencari alasan.
"E-Neng?"
Aku masih menunduk. Antara bingung dan takut ketahuan. Lalu ....
"Se-sebenarnya ...."
"Sebenarnya apa, Neng?"
"Sebenarnya, pria itu mau memperkosa aku!"
"Apaaa!"
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Janda Bohay
Mystery / ThrillerAku, Siti. Pekerjaanku sehari-hari hanyalah menjaga warung kopi yang terletak di pinggir jalan di desaku, setiap pagi aku membuka warungku, menyusun gelas-gelas bersih di atas meja. Meletakkan beberapa kue basah dan gorengan yang siap dilahap dalam...